Sunday, May 30, 2004

Bogor, 28 November 2003

Padangku gersang lelah
merindukan siraman hujanmu
Beku dalam kesunyian
Kelu dalam penantian
Bisu terbungkam kata-kata

TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.

(Another SDD, 1980)

Friday, May 28, 2004

NOVEL, ESAI, SEKSUALITAS

Akhirnya si Ut berhasil gua “racunin”. Dia jadi pingin baca “Novel Tanpa Nama” setelah baca blog gua, hehehe… Enjoy yourself deh Ut.. Menurut si Eyang waktu itu, dia sedang dalam proses penerjemahan novel karangan Duong Thu Huong lainnya, masih seputar kehidupan tentara Vietcong juga, dan ada beberapa bagian yang setting-nya di USSR zaman dulu. Kurang jelas apakah tokohnya masih sama atau diganti yang lain (karena gua lupa mau tanya sama si Eyang, saking ‘kesima-nya, entah sama si Eyang atau sama kenorakan gua sendiri, hehe). Setiap kali ke toko buku, gua mencari2 novel ini, tapi sepertinya belum dicetak, masih dalam proses. Nggak sabar ih, pingin buru2 baca…

Weleh.. Terus terang gua deg2an juga waktu diminta Tammy baca tulisannya. Bab satu, bakal novel. Maaf ya, Mie, kalo penilaian gua nggak sreg bagi loe,…gua ini amatiran. Tapi menurut Sonny, gua bisa jadi kolumnis,… Wadhuh! Malu ah, Son. Jadi gua harus cari dong…siapa yang mau kolomnya gua obrak-abrik? Hehehe…. Untuk kolom, gua suka gaya tulisan kolomnya Rudi Badil, Wimar Witoelar, Budiarto Shambazy belakangan juga… Sebenarnya gua suka tulisan yang model2 esai gitu, karena selain bisa menikmati gaya unik macam2 penulis dengan berbagai latar belakang, gua jadi tahu bagaimana cara pandang dan sikap banyak orang terhadap satu hal. Setidaknya mereka membantu kita untuk bersikap lebih objektif, kan?

Son, (en Lukito of course..) Lo pada tahu nggak sih, kayaknya kita kecolongan si Tomat, karena diem2 ternyata lo penulis ya, Mat…? Ayo, ngaku.. Dasar penjahat… Dulu kok anak2 pada nggak tahu?

Balik lagi ke novel si Mie.. Gua udah siap dengan “coffee accident” gua lho, Mie. Sekilas kemarin gua baca, gaya bahasanya boleh juga. Mengalir. Oh ya, gua tahu deh. Seingat gua, jaman SMA dulu lo pernah bilang kalo lo punya diary di disket. Waktu itu sih, rasanya aneh bagi gua, diary kok bikin di komputer. Kurang seru. Eh…ternyata sekarang gua malah curhat online. Gilingan. Mie, di balik ke-tomboy-an lo, ternyata lo feminin sekali.. Mungkin karena minat gua lebih pada esai, atau (konon) gua “kampungan”, yang jelas gua belum bisa menulis soal seksualitas seperti lo, mengangkatnya perlahan2, mengungkapkannya begitu menyentuh, melakukan eksplorasi yang begitu terbuka (istilah orang sekarang, “berani”), tapi sekaligus terasa “perempuan sekali” karena gaya bahasa lo yang feminin tadi. Ah, bukan sekadar gaya bahasa, jiwa lo memang feminine. Padahal lo tukang diving ke mana2, ya? Juara renang lagi (nggak nyambung nih, hehehe) Gua jadi inget, lo kan dulu PKL or something di Bali? Tulisan lo sedikit banyak terilhami kesan lo di sana dong..

Kadang ada kawan mengajak gua sharing masalah “hasrat”. Bukan malu (ya juga sih..), tapi gua menganggap seksualitas harus menjadi bagian “kemerdekaan” seseorang. Mau cerita kek, mau diem2 aja, itu hak orang sepenuhnya. Dianggap ‘berani’ atau terlalu berterus terang, menurut gua itu harus dipandang sebagai keinginan untuk ‘mandiri’. Lain halnya dengan sekadar pingin mengumbar pornografi atau bentuk eksploitasi lainnya demi uang. Atau sok2an dan tidak bertanggung jawab. Akhirnya, sesuatu yang wajar jadi menyebalkan. Menurut gua, transparansi itu sebaiknya bersuara seperti ini, “Ini lho pikiran saya selama ini. Saya nggak semena2 membicarakan seksualitas, tapi saya juga nggak mau dilarang bicara. Saya punya hak untuk menentukan.”

Akhirnya...ini sebagian tulisan Mie yang gua anggap “kuat” dan ingin gua post di sini.

“Bila seseorang masih bisa berkata Jikalau, itu adalah kata yang sangat dalam maknanya untuk memutar kembali waktu. Untuk membuat segala menjadi lebih baik. Untuk semua pihak. Tapi tidak mungkin. Maka Jika menjadi sesuatu yang mustahil bagi manusia. Karena Jika adalah privilegeNya. Keutamaan. Takdir. Sejarah. Nasib. Masa Depan.”

Satu lagi:

“Bandul sejarah mengukur waktunya. Mendiktekan irama yang digunakan tubuh untuk saling memberikan jawaban. Seakan kami telah tahu untuk setiap gerakan kenikmatan, harus dibayar dengan derita yang sama. Kami saling menahan diri. Akibatnya kami saling menyakiti. Semakin memperburuk suasana hati kami. Semakin menambah kepedihan hati yang kami rasakan. Karena ia tidak dapat memberikan jawaban atas kegelisahan akan ketidakpastian masa depan, kemunafikan hidup karena sisa umurmu akan dijalani dengan orang yang tidak kau kenal. Membuat nafsu birahi kami bangkit menggantikan puncak kegelisahan.”

Terusin lagi ya Mie, nulisnya, I’ll be behind you all the way..

Tuesday, May 25, 2004

"FISIKA STAR TREK"

Barusan di TV gua liat ada lawak pakai plesetannya Star Trek. Picard jadi satu zaman sama Spock? Kalau Picard melakukan perjalanan antar-waktu, mungkin aja mereka berdua bertemu. Tapi yang menarik perhatian gua adalah adegan di lawak itu saat pesawat mengubah/menambah kecepatan warp-nya. Seketika itu juga, Picard, Klingon dan Spock "versi lawak" terhenyak keras ke kursi, bahkan seakan nggak bisa bergerak. Hal ini tidak pernah terlihat dalam adegan film Star Trek buatan Hollywood, dan menjadi salah satu contoh kesalahan fisika yang paling disorot.

Di buku “Fisika Star Trek” karangan Lawrence M. Krauss disebutkan kesalahan2 fisika film tersebut. By the way, 'ni buku terjemahannya lumayan bagus, meskipun ada juga kekeliruan yang agak ‘parah’, misalnya “tractor beam” diterjemahkan “batang penghela”, padahal menurut gua “beam” yang dimaksud di sini adalah “sinar”. Selain itu, karena yang dibahas sebagian besar fisika, baca buku ini kudu pelan2…itu aja masih banyak yang nggak mudheng buat gua, hehehe..

Kembali lagi ke soal “terhenyak ke kursi”. Ini membuktikan ketidaktelitian penerapan aspek fisika dalam film Star Trek, dan dibidik oleh Krauss sebagai kesalahan paling mendasar (sebab yang pertama kali dipelajari dalam fisika adalah Hukum Newton, bukan?). Namun, sebaliknya jika Enterprise berhenti mendadak, tidak ada awak yang terpelanting jauh. Padahal menurut hukum kekekalan momentum, seharusnya tidak demikian. Ke mana energi itu lari? Akhirnya, tim penulis skenario Star Trek mengemukakan apa yang dinamakan “peredam kejut”, meskipun tidak terlalu dijelaskan bagaimana cara kerja sistem ini. Lagi2 dapat kritik.

Kesalahan2 lain sebenarnya masih banyak, tapi di sini gua cuma sebutin yang satu itu dulu. Moga2 bisa disambung lain kali. Pertama kali baca buku ini, gua rasanya tertohok juga (please, don’t take away my beautiful Trek-Dream). Tapi, terlepas dari kelemahan2 teknis yang ada di film, gua tetap menyukai alur dramanya. Bagaimana interaksi antarmakhluk berlangsung, pecahnya konflik karena perbedaan kepentingan, ketidakpahaman atas peradaban asing, sampai hasrat Data untuk memiliki emosi, yaitu hal utama yang membedakannya dengan manusia. Dulu gua suka mengidentikkan Federasi dengan PBB, dan masing2 ras sebagai bangsa2 di Bumi “saat ini”. Sedikit banyak, film itu memang mengingatkan pada kondisi riil, meskipun memakai cara yang “ngawang2”. Problem yang dikemukakan pun kebanyakan riil dan sederhana aja, nggak terlalu rumit dibandingkan film2 fiksi ilmiah lain. Cuma memang kemasannya “lebih fisika”.

Pada akhirnya, gua masih berani bilang, Star Trek nggak bakalan ditinggalin fansnya. Mungkin di situlah keunggulannya. Di balik istilah2 fisika yang “nakutin” itu (meskipun ternyata banyak salahnya), masih ada kisah2 dan karakter2 yang mudah diselami, diidentikkan, membumi dan merupakan “kenyataan sehari-hari”…

Jadi, buat Star Trek : “Time is the final frontier.”

Catatan :
Thanks buat Ratih yang udah minjemin gua Star Trek “Enterprise” 26 episode alias 1 season! Gile nih anak… Sabar ya, gua nontonnya rada lamaan.

Monday, May 24, 2004

Hari ini dua orang berjanji mau ngeliatin tulisan mereka sama gua. Gua tunggu lho, janjinya, Mie, Ut! (uh, I'm so excited).

He'eh, Ut, gua maklum kok sama kesibukan lo jadi penulis buletin perusahaan U (temen gua ada yang kerja di situ, tuh...). Harus wawancara sana-sini, belum lagi harus ngajar bahasa Inggris, buat subtitel film, nerjemahin skrip sinetron yang mau diekspor (gile, ada juga yang mau ngimpor, hehehe... ooopss, jangan gitu ah..). Terus apa lagi? Kadang2 lo bikin resensi film juga, ya? Sekali2 ajak gua ke screening doong, hehehe. Gua cuma heran, Ut.. Lo diem di rumah cuma berapa jam, ya? Tapi, toh lo masih janjiin bikin ikhtisar buku yang lagi lo baca sekarang. Thanks buanget, ya..

Mie, gitu dong, Tante.. Gua kaget juga tadi nerima SMS lo, gua kira lo udah lupa sama temen main kelereng lo ini.. hihihi (kok gua mendadak teringat si Wendi sih?). Ayo, kirim..kirim.. Tau nggak, Mie, konon kabarnya menulis bisa membuat pikiran orang jadi longgar... (jangan2 selama ini diam2 lo udah punya banyak "simpenan"..) Duh, jadi nggak sabar nih...

Sunday, May 23, 2004

Lagi-lagi kasus penyiksaan TKW

Malu nggak sih kita ini? Melindungi ‘aset’ sendiri nggak bisa? Itu kan arti mereka bagi kita selama ini? Apakah itu tidak menjadikan kita tuan2 yang kejam? Apakah kita masih boleh merasa lebih mulia daripada majikan penyiksa para TKW, sedangkan kita secara tidak langsung juga ikut menikmati hasil cucuran keringat (dan darah) mereka? Dan kita seperti kerbau dicocok hidung saat menghadapi tuan2 feodal kita, sulit melepaskan diri dari ketergantungan selama ratusan tahun.

Saya cukup yakin, tidak ada anak perempuan yang bercita2 menjadi pembantu, apalagi pakai disiksa segala. Atau bercita2 menjalani trafficking terselubung. Saya katakan terselubung, karena terlepas dari legalnya suatu pernikahan campuran, kehidupan si perempuan belum tentu lebih baik daripada budak. Contohnya sudah banyak. Dan mereka mengadu untung. Orang bilang, itu pilihan hidup. Pilihan hidup untuk disiksa, dijadikan budak?

Bagaimana dengan illegal trafficking? Saya nggak berani membayangkan bagaimana kehidupan mereka di sana. Bagaimana perlahan2 mereka berubah menjadi zombie, menjadikan siksaan lahir dan batin sebagai bagian kehidupan, mematikan semua emosi, membuang kemampuan berpikir dan nalar, melupakan harapan dan cita2 sebab kenyataan yang mereka hadapi sehari2 tidak memerlukan semua itu. Mereka cuma dijadikan alat dan diperas. Emosi, akal, harapan dan cita2 hanya akan menjadi racun yang perlahan2 mematikan. Mustahil bagi mereka memiliki semua itu. Ini fakta. Tidak ada hubungannya dengan ajaran komunis yang katanya menyetarakan agama dengan candu (sembari menciptakan bentuk berhala dan penuhanan yang lain). Tapi terserah. Saya bukan bicara ideologi.

Tolonglah.. Berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk ‘operasi militer’ ke sana? Kamu menghabiskan miliaran demi kedaulatan negara. Katakan, berapa miliar yang saya butuhkan demi membela kedaulatan mereka yang dinistakan tanpa janji2? Berapa yang harus saya bayar untuk menjamin setiap orang untuk hidup tanpa ketakutan, layak tercukupi kebutuhan minimalnya, tanpa direnggut harga dirinya sebagai manusia?




YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.

(another by Sapardi, 1978)

Thursday, May 20, 2004

MENUNGGU MACET

Jam menunjukkan pukul 17.30. ‘Warnet’ kantor nggak ada yang pakai. Serbuuu! Udah ah, gua udah pusing nonton film, lagi pula kurang bagus… Sambil nunggu Maghrib dan berkurangnya macet saat jam pulang kantor, lebih baik gua ke ruang tengah. Di sana pasti ada hiburan untuk orang capek, selain itu pasti lebih hangat daripada ruangan gua. “Nggak apa2 kalau karyawan sakit, tapi VTR dan komputer jangan sampai rusak akibat ruangan terlalu hangat..”

Don't go changing, to try and please me
You never let me down before
Don’t imagine you’re too familiar
That I won’t see you anymore


Eh, si Echa lagi seneng2nya tuh, ada mainan baru.. Keyboard siapa, ya? Susah dah, jiwa entertainer-nya nggak akan bisa dikekang. Semua lagu dicobain. Suaranya..lumayan lah.. Di atas rata2. Gayanya? Ini yang nggak tahan…kagak ada matinye. “Ya, ayo, semuanya. Yang di belakang juga, ya!” Mbak Yuni, si produser dubbing jadi nimbrung dengan semangat ’45 (mbak, udah dong..kerjanya).

I need to know that you will always be
The same old someone that I knew
What will it take ‘till you believe in me
The way that I believe in you


Ariip! Gua masih punya kaset Billy Joel yang lo rekamin waktu jaman jebot dulu.. Itu sempat gua bawa ke mana-mana, along with my other favorite records… “Ya, coba itu yang lagi nge-net, ikutan juga! Alright…” Ogah! Gua lagi ngutak-ngatik blog template.. Kenapa sih, animasi gua nggak keluar juga??? Tolong! Help! Hilfe!

I don't want clever conversation
I never want to work that hard
I just want someone that I can talk to
I want you just the way you are


Kayaknya macet udah berkurang. See you the day after tomorrow, guys! Eh, di depan lift kok ada gerombolan lucu2 semua… Kok bisa begitu, ya? Orang2 produksi, ya? Wait! Hold the elevator! Jadi penasaran, siapa sih mereka? Udah, deh, Mpok… Laki orang semua tuh.. Kagak kapok juga lo. Mau kecengklak lagi? Lembek amat sih lo? Inget ceritanya Shantonio Tomato (Mat, nama lo jadi keren, kan? Mirip sama Antonio Sabato, kan?) Inget ceritanya saat mengerahkan temen2nya jadi responden untuk artikel bertopik “suami peselingkuh” (atau lo sekarang juga ikut2 jadi pengerah massa untuk demo, Mat? Gua denger salah satu temen kita ada yang berprofesi begitu…?) Bener, ya, Mat? Hampir semua temen lo pernah selingkuh? Dan itu wajar? Tapi nggak semuanya mau "berbesar hati" untuk ngaku terang2an, ya, Mat? Terus, jadinya lo curang dong…karena lo memilih tidak menikah, lo jadi satu2nya di antara temen2 lo yang nggak pernah selingkuh. Begitu? Terlepas dari hak asasi lo menentukan pilihan, kalau milih nggak menikah, mungkin lo harus melawan arus, karena lo berdarah Tapanuli. Setahu gua, biasanya ‘kan dari keluarga ada ‘tuntutan’ memenuhi 3H itu : hamoraon, hagabeon, hasangapon ( kaya, beranak-bercucu, dan mulia). Dulu gua pernah ngantor di tempat yang sebagian besar isinya orang Tapanuli. They could be so tough, yet there’s a sense of melancholy in their attitude. You know what I’m saying?

Ya sudah lah, kalo gitu… Mendingan balik kanan dulu, ngecek macet lagi aja dari jendela ruangan gua. Asta la vista. Biarkan pintu lift itu menutup...




Wednesday, May 19, 2004

THE HEAVEN OF PEUCANG
(sumbangan AMGD)

Perahu kecil melaju pelan melintas samudra ditengah ombak yang datang bergelombang diterpa angin. Membuat perahu naik turun oleng kekanan dan kekiri bergerak tak beraturan mengikuti ombak yang datang menghadang. Para penumpang yang ada di dalamnya menjadi was-was, cemas, gugup sekaligus gembira bercampur aduk jadi satu.

Bagi para adventurer tentu tak asing lagi mendengar Pulau pecang, baik yang sudah berkunjung kesana ataupun melalui TV, website atau media-media lainnya. Gambaran-gambaran yang pernah kita lihat dan kita dengar ternyata tak jauh beda dengan apa yang ada disana, bagaimana proses perjalanan kesana yang memang menyenangkan dan penuh dengan tantangan. Pesona keindahan alam yang bisa membuat hati terpikat pun kita akan banyak temukan disana.

Berdasarkan pengalaman rombongan kami kemarin, ternyata memang tidak puas kalau kita tidak berlama-lama disana karena gugusan pulau di sekitar Peucang pun banyak menampilkan wisata bahari yang sayang untuk dilewatkan. Untuk menuju Peucang lumayan jauh jaraknya jika ditempuh dari Jakarta namun hal itu tidak menjadi masalah jika ada keinginan untuk pergi kesana. Rombongan kami bergerak menuju kesana pada Jum'at malam ( 03 Oktober 2003 ) jam 21.30 . Kurang lebih setelah menempuh perjalanan 2,5 jam kami tiba di Lippo Carita. Perjalanan sepanjang tol Jakarta-Merak memang perjalanan yang cukup menjemukan karena praktis hanya hamparan sawah kering yang membentang disepanjang kanan-kiri jalan, tidak ada sesuatu yang membuat menarik untuk dilihat. Tapi begitu keluar di Cilegon segera pemandangan indah lampu warna-warni yang menjulang tinggi dari pabrik-pabrik yang ada dikawasan itu membuat kita menjadi fresh lagi menikmati untuk menikmati perjalanan. Terus melaju ke arah barat sampailah kami didaerah Karang Bolong yang jalannya cukup dekat dengan laut hingga kita bisa melihat putihnya ombak dan hembusan angin pantai yang membuat jiwa dan hati tentram sembari mengagumi keagungan Ilahi. Tak berapa kemudian sampailah kami di Lippo Carita untuk menghabiskan waktu malam itu. Karena sudah cukup lelah praktis malam itu kami semua langsung segera menuju peraduan untuk menikmati mimpi yang tertanam dalam hati masing-masing.

Keesokan harinya habis subuh Sabtu ( 04 Oktober 2003 ) kami melanjutkan perjalanan ke arah desa Citangkil. Kali ini rombongan ditemani rekan-rekan dari WWF yang akan memandu kami sampai di Pulau Peucang. Setelah membeli segala keperluan untuk memasak di Pasar Labuan perjalanan segera kami teruskan untuk menuju desa Citangkil. Jalanan yang turun naik, belokan-belokan tajam dengan suasasa yang sejuk mengikuti perjalanan ini karena hutan tropis yang mengapit jalan sekaligus membuat keasikan tersendiri menempuh perjalanan lewat jalur ini. Dibalik mulusnya jalan kadang kita temukan lubang-lubang yang cukup besar hingga kita harus ekstra hati-hati kalau tidak mau as mobil kita patah. Dua jam lamanya kami tempuh perjalanan ke Citangkil yang merupakan etape pertama jadwal perjalanan kami ke Peucang. Sesampainya disana kami mengunjungi CANOPI salah satu persatuan remaja binaan WWF di desa tersebut. Berbagai kreatifitas banyak mereka ciptakan sebagai hasil karya bersama. Selain membuat kaos dengan gambar khas badak bercula satu dan marking ujung Kulon juga membuat patung kecil badak bercula satu dari kayu mahoni yang unik dan lucu. Rata-rata kaos tersebut dijual dengan harga 30 ribu s/d 50 ribu begitupun dengan patungnya tergantung dari ukurannya dengan harga antara 20 ribu s/d 50 ribu rupiah. Setelah membeli handicraft tersebut kami pun melanjutkan perjalanan ke arah desa Paniis. Kurang lebih setelah menempuh perjalanan 1 jam kami tiba di markas WWF yang terletak di Sumur. Bertemu dengan Pak Hari salah satu koordinator WWF di wilayah tersebut sangat menyenangkan sekali. Kami banyak berdiskusi mengenai peran WWF khususnya didareah ini. " Kami ingin memberikan penyadaran kepada masyarakat betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup," kata Pak Hari. Apalagi memang rumah-rumah penduduk tersebut berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon yang sudah terkenal di seantero dunia. Selain hal tersebut WWF juga menjadi mediator jika ada pihak-pihak lain yang ingin mengadakan kegiatan bersama dengan penduduk setempat. Walaupun kelihatan pendiam namun Pak Hari juga sempat mengecam kebijakan pemerintah untuk memberikan HPH kepada para pengusaha yang lebih banyak menghasilkan kerusakan daripada keberhasilan.

Hampir setengah jam lamanya kami berada disitu sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Desa Paniis. Kali ini kami betul-betul merasakan apa sebetulnya arti off road. Jalanan yang berlobang, berbatu turun naik harus kami lewati sepanjang 12 km. Namun kekesalan itu seakan berakhir ketika 3 km menjelang Paniis jalanan yang kami lewati hanya berbatas beberapa meter dari pantai hingga laut yang kebiruan tampak alami dan membuat hati serasa menjadi biru mengikuti warna air tersebut. Kurang lebih jam 12.30 kami sampai di desa Paniis, yang membuat kami terharu ketika datang 2 rombongan mobil kami disambut oleh puluhan anak kecil yang melambai-lambaikan tangan serta tertawa riang melihat kami datang. Ketika sampai di rumah Kepala Desa Paniis Ternyata makanan siang sudah disiapkan sebelumnya untuk menyambut kedatangan kami. Setelah berbincang-bincang dengan penduduk sekitar kami segera menuju ke perahu untuk menuju Peucang.

Perjalanan ke Peucang kali ini kami ditemani oleh beberapa penduduk sekitar yang akan membantu penyiapan akomodasi di Peucang juga oleh Bang Pinor salah satu tebaga ahli dari WWF bidang kelautan yang pernah bekerja di seaworld ancol ini. Kami pun merasa tenang karena ditemani oleh orang yang sudah familiar di wilayah tersebut. Satu per satu dari rombongan kami pun naik perahu yang telah tertambat di tepi pantai. Segera setelah selesai semua perahupun mulai melaju dengan tenangnya. Namun ketenangan itu mulai terusik ketika perlahan-lahan namun pasti ombak mulai datang. Ombak yang datang bergelombang bahkan kadang-kadang tingginya sampai 1,5 m betul-betul membuat jantung kami mau copot. Rombongan wanita semuanya berteriak karena hampir semuanya dari kami tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Namun Bang Pinor segera menghibur kami kalau ini tidak apa-apa, karena memang sekarang sedang ada angin selatan yang memang kurang sedikit bagus. Walaupun kami masih sedikit takut namun tak mungkin untuk memutar perahu kembali ke Paniis lagi. Hampir satu jam kami was-was terus karena ombak tersebut. Setelah itu barulah ombak tenang dan kami betul-betul bisa menikmati pantai di sepanjang Ujung kulon dengan pasir putihnya, hutan tropis yang masih lebat dan delta-delta yang terlihat jelas dari perahu kami. Melihat pulau-pulau tersebut betul-betul membuat kami semua terdiam, berfikir dan berimajinasi bagaimana memahami keindahan itu.

-to be continued-

Catatan : Kapan ya gua ke sana?? Bikin sirik neh...
Grace mau ujian...

Viel Gluck bei Deiner Pruefung, Grace..
Sehen wir mal wieder?
MIND OPENER #3

Si Mpok wrote :

Jadi, sekarang siapa yang tidak kewalahan menghadapi kapitalisme? Bahkan RRC yang segitu tertutupnya akhirnya mau juga masukin produk2 Amerika. Dulu saya kenalan sama wanita RRC, dia pegawai negeri. Hidup dari doktrin, komunis sejati. Dia nggak percaya sama sekali kalau di Tian An Men ada mahasiswa tewas seorang pun, sebab dia bilang itu cuma propaganda AS. Tipuan TV AS. Mendengar ucapan dia yang begitu ngotot, saya jadi terbuka. Gila, bagaimana kalau ternyata dia nggak sepenuhnya salah? Maksud saya, mungkin dia salah waktu bilang nggak ada korban sama sekali dan memang di TVnya sono dia cuma lihat mahasiswa pawai. Tapi siapa yang menggerakkan di atas semua itu? Cina? AS? Sekarang mana yang lebih jahat? Keterbukaan yang menjadikan kita seperti ini, atau penyeragaman yang membutakan? Saya jadi inget film X-Files, informasi dan disinformasi, teori konspirasi, semuanya sangat menarik, tapi sekaligus bikin pusing kalau dipikirin. Jangan2 kita ini korbannya men in black...

Mungkin nggak, yang punya TV diatur sama yang punya power? Udah, kasih masyarakat hiburan yang murah, gampang dicerna, heboh.. seperti Inul itu. Soalnya sebentar lagi mau ada momentum besar yang tidak boleh tercium massa. Alihkan perhatian orang pada Inul, grak! Tuh, kan kalian untung juga, dapat iklan membanjir..(aduh, kebetulan lagi, tadi pagi saya baru ikut bantuin ngerjain program yang ada Inul-nya, tiga lagu pula. Saya juga kurang suka sebenarnya, tapi namanya kerja nggak mungkin nolak...ihik!)

AC wrote :

Saat ini saya lebih banyak mengaitkan berbagai fenomena sosial dan alam dgn agama. Semakin saya pelajari semakin banyak yang saya pahami mengapa fenomena2 tsb bisa terjadi. I am sure I can share this notions with you since you're very open-mind. Kadang2 saya diskusi dgn org lain mengenai hal itu suka nggak nyambung. Jadi males deh. Tapi saya ngerti kenapa. Seringkali kesimpulan2 yg saya munculkan bertolakbelakang dgn kebanyakan orang. Lagi2 hal tsb krn didasari oleh paradigma yg berbeda. Ambil contoh soal Tiananmen yg kamu cerita itu. Memang akhirnya pasti akan muncul konflik apakah suatu informasi perlu dan hrs disebarluaskan atau tidak. Jawabannya bukan bersifat logika apalagi hukum, akan tetapi moral. Dimana moralitas kita bila kita menyebarluas kan suatu yang menyebabkan masyarakat menjadi chaos & hostile? Pertanyaan moralitas yg sama berlaku juga sebaliknya. Setelah membaca berbagai keterangan dlm buku2 agama serta berdiskusi dgn beberapa ulama, akhirnya jawabannya menjadi mudah bagi saya. Menurut konsep dlm Islam, perlu atau tdk perlunya informasi mutlak didasarkan apakah hal itu memiliki manfaat bagi masyarakat, atau malah menjadi madharat/mafsyadat yang merusak. Bagaimana kita menilai segi manfaat atau madharat itu, ya tentunya dgn menggunakan kriteria dlm agama lagi. Itu aja. Nah, kamu amati kan seperti apa kalangan media menggembar-gemborkan kebebasan pers mereka? Berapa banyak dari mrk yg memiliki moralitas yg baik?

Sunday, May 16, 2004

Show me the meaning of being lonely…

Reseh nggak sih, potongan lirik itu jadi terngiang-ngiang terus di kepala gua. Gara2nya, minggu lalu gua kebagian nge-review hasil kerja salah satu penerjemah, film tentang konser Backstreet Boys. Ternyata ada 1-2 lagu yang, setelah didengar dengan seksama, hehehe, enak juga… Salah satunya ya yang di atas itu.. Suara mereka juga nggak jelek, terbukti waktu jumpa pers dan nyanyi akapela (ini bahasa Indonesia-nya a cappella), nadanya nggak lari ke sana-sini dan lumayan powerful. Tuh, kan, lirik itu muncul lagi.. Udah ah!

Gua mau “laporan” acara Geng Arisan bulan Mei, yang akhirnya terlaksana Jumat tanggal 14 kemarin. Kayaknya Linda bener nih, gua udah kayak bu RT aja, paling sibuk nelponin dan SMS temen2. Bahkan di milis angkatan gua tantangin anak2 lain buat arisan susulan atau perjuangan, tapi kayaknya semua pada lagi sibuk. Apa gua yang kurang kerjaan ya? Makanya sampai sempat2nya bikin blog segala, hehe..

Jadi... Kemarin itu Geng Arisan ngumpul di Mangkok Putih Jl. Panglima Polim IX. Makanannya relatif lah..tergantung selera. Tapi tempatnya sih lumayan cozy, dan kita sengaja milih yang mojok di lantai 2. Soalnya namanya aja Geng Arisan, pasti berisik, dan kasihan aja orang2 yang pingin makan sambil santai, kan? Karena yang jadi host si Linda, dia udah datang duluan. Queenta dan Imel yang lagi supersibuk nggak bisa ikutan. Uchiet dan Lena dan gua baru ninggalin kantor setelah Maghrib dan berangkat bareng karena letak kantor kami bertiga berdekatan. Nggak lama setelah itu muncul Esther, peserta arisan yang nggak ikut arisan. Maksudnya, dia cuma kangen2an… Baru deh belakangan muncul Nana dan Ojox. Muah, muah, cipika, cipiki…

Seperti biasa, obrolan tentang “zaman jahiliah” di kampus pasti keluar. Ternyata Ojox punya photographic memory, dia bisa ingat nilai2nya Nana. Pernah Nana dan Lena minta diajarin Kalkulus (?) sama Ojox sebelum ujian, dan pas ujian mereka berdua dapat nilai A, tapi Ojox yang ngajarin hanya dapat B. Jadi ceritanya ilmu lo diserap mereka, Jox? Ojox dan Linda juga inget banget gimana seremnya ujian Ilmu Bangunan di sebelah Nana.. Lo berdua baru gambar sampai pondasi, dia udah sampai atap. Na, lo nggambar kayak orang possessed gitu, katanya. Yang gua inget sih, lo kalo nulis memang ditekan banget, sampai bagian belakang kertas pada berbekas gitu. Cepet banget lagi.. Ngomong2 lo pada inget nggak sih, pernah sebelum salah satu ujian, ada cowok yang nulis contekan rumus di antara corat-coret di papan tulis? Gua lupa, siapa ya? Tapi ternyata rumus itu nggak kepake… Kita pada kecele aja.. Terus Lena cerita gimana dia ketemu sama Bernard.. Luhut juga kemarin disebut2. Eh, mereka tuh dulu temen main gaple gua di belakang jurusan.. Kalo pas sholat Jumat, anak2 yang non-Muslim kan suka kumpul di situ, terus main gaple sambil nungguin kuliah apa ya, Mekanika Tanah atau Manajemen Proyek gitu? Terus gua suka ikutan… Meskipun nggak pake perhitungan, tapi gua pernah menang juga, lho…

Eh, gua mah jangan disuruh cerita di tengah Geng Arisan. Gua cukup mendengarkan dan nimbrung sedikit2 aja. Menyenangkan deh lihat lo2 semua kalo lagi cerita, dan jadi hiburan tersendiri buat gua. Apalagi mengamati gayanya Ojox, ekspresif banget sih! Tangannya sampai kesana-kemari, ya, Len? Kalo mau tahu cerita gua, ya di blog ini aja,… Makanya rajin2lah menengok blog gua, soalnya kalo gua ada salah sebut, kalian pada bisa counter, hehe. Tapi Geng Arisan kita memang lain sih.. Sebenarnya kita niat arisan nggak, sih? Abis yang dapat arisan tiap bulan nggak pernah dari kocokan lagi ya? Seingat gua, kita kocok2 ambil kertas itu cuma dua kali, dan yang kedua kali dibatalin karena Uchiet minta diduluin. Jadi yang benar2 hasil kocokan arisan cuma gua, dulu waktu arisan pertama. Tapi nggak apa2 ya, Ibu2… Kita kan memang hanya kepingin ketemuan. Tanya aja si Babe Toha. Dia kepingin banget kumpul sama temen2 cowok, tapi mereka kok kayaknya menghilang semua. Padahal dulu waktu kuliah, bikin acara “men only” sering banget. Cewek2 nggak boleh ikut. Ya, kan? Kalo sekarang Babe pingin ikut arisan, gua sih seneng2 aja (asal lo tahan aja dengan kehebohan Geng Arisan. Terutama gendang telinga lo, durability-nya gimane?). Biar bagaimanapun, lo kan ketua RT kite yang pertama, Be. Kalo kagak ade lo, kagak ade yang diumpanin ke senior, hahaha.. Becanda, kok, Be.

So, anggota Geng Arisan yang tersayang, sesuai musyawarah kemarin, bulan depan yang jadi host Ibu Lena, ya? Kalo nggak bisa di rumah juga nggak apa2 kok, kita cari tempat cozy lainnya, daripada nanti si Arya suami lo kudu melarikan diri, hehe. And now, let’s get back to work, girls… I’ll see you all again next month!

Thursday, May 13, 2004

ABOUT SAPARDI

Kalau di Indonesia ada penulis yang bisa membuat karya paling menyentuh dengan gaya sangat membumi, menurut gua Sapardi Djoko Damono-lah orangnya. Pemilihan bahasa yang sederhana tidak serta-merta membuat tulisannya membosankan dan klise. Penyair lain bahkan bisa cemburu melihat kepiawaian “si Eyang” ini mengolah perbendaharaan katanya (menurut teman yang lulusan Sastra UI, ini salah satu panggilan buat Sapardi dari para mahasiswanya). Menurut Gunawan Mohamad, mereka (penyair lain) akan heran melihat puisi Sapardi dan berkata, “Kenapa saya tidak menulis seperti itu tentang itu?”

Pertama kali gua baca karya Sapardi, justru bukan tulisannya sendiri, tapi terjemahan “Novel without a Name” karya Duong Thu Huong, perempuan eks-serdadu Vietcong. Entah akibat cerita Huong yang memang hidup karena berdasarkan pengalaman pribadinya selama perang, atau kepandaian Sapardi menerjemahkan karena begitu menghayati tulisan dan pikiran penulisnya, tapi membaca novel terjemahan itu membuat gua "seakan mimpi di pagi hari". Cara penerjemahan yang dilakukan si Eyang menjadikan novel itu seolah-olah hasil karyanya sendiri. Luar biasa. Saat membacanya, orang akan terbawa suasana di dalam novel, bahkan gua sampai bisa melupakan kemacetan di jalan tol (yang sekarang sudah bukan jalan bebas hambatan lagi, tapi jalan penuh hambatan) waktu berangkat ngantor. Tulisan Sapardi sendiri? Favorit gua “Membunuh Orang Gila” dan “Ditunggu Dogot”, semacam autokritik dengan gaya kocak, “sinisme” yang subtil, dan semangat pendalaman spiritualisme yang tidak terkesan menggurui.

Waktu gua bareng temen2 kantor ikutan seminar penerjemahan di Solo tahun lalu, iseng2 gua bawa “Novel Tanpa Nama” itu. Kejadian deh, saat menunggu dimulainya salah satu seminar yang dia bawakan, gua jadinya minta si Eyang tanda tangan di novel itu sekaligus foto bareng. Eh, ternyata ada peserta seminar lain yang jadi ikut2an minta foto bareng Sapardi. Hehehe, norak nggak tanggung2 dah. Gimana ya, udah bawaan dari lahir kali… Sampai dosen UNS yang jadi moderator berseloroh, “Wah, Pak Sapardi sekarang jadi selebriti, ya?” Rada2 katro sih memang, di antara puluhan pakar bahasa serius yang profesor doktor de-el-el itu, tiba2 ada semacam jumpa penggemar.. “Oh, pantes.. Orang tivi, sih..” Setelah gua ingat2, si Eyang sedikit banyak mengingatkan gua pada si mbah Kung. Si mbah juga waktu muda suka nulis, karena sempat jadi wartawan. Tapi itu sebelum terjun ke politik. Setelah sibuk urusan partai, kayaknya dia nggak nulis lagi. Sayang, gua bahkan nggak tahu seperti apa wujud tulisannya. Yang gua bisa nikmatin hanya sebagian kecil koleksi bukunya, termasuk terjemahan “Animal Farm”-nya George Orwell, yang dalam bahasa Indonesia jadi “Negara Binatang”…

Ngomong2, kali ini gua pingin share salah satu puisi Sapardi favorit gua..


BATU

/1/

Aku pun akhirnya berubah
menjadi batu. Kau pahatkan,
“Di sini istirah dengan tenteram
sebongkah batu,
yang pernah berlayar ke negeri-
negeri jauh, berlabuh di bandar-
bandar besar, dan dikenal
di delapan penjuru angin;
akhirnya ia pilih
kutukan, ia pilih
ketenteraman itu.
Di sini.”

Tetapi kenapa kaupahat juga
dan tidak kaubiarkan saja
aku sendiri, sepenuhnya?


/2/

Jangan kaudorong aku
ke atas bukit itu
kalau hanya untuk berguling kembali
ke lembah ini.
Aku tak mau terlibat
dalam helaan nafas, keringat,
harapan, dan sia-siamu.

Jangan kaudorong aku
ke bukit itu; aku tak tahan
digerakkan dari diamku ini.
Aku batu, dikutuk
untuk tenteram.

/3/

Di lembah ini aku tinggal
menghadap jurang, mencoba menafsirkan
rasa haus yang kekal;
ketenteraman ini,
sekarat ini.

(1991)

Sunday, May 09, 2004

REALITY BITES, AND FACT IS A BITCH

Beberapa hari yang lalu, A, temen SMP gua telepon. Yang bikin gua sebel, waktu dia cerita bahwa dia sempat aborsi kandungan anak ketiganya. Dia dan suaminya panik waktu tahu dia hamil, lalu ke dokter umum minta aborsi. Gua baru tahu ada suntikan yang bisa bikin rahim kontraksi, dan otomatis menggugurkan kandungan. Dan itu ada di dokter umum. Jadi, A diantar suaminya ke dokter untuk disuntik obat itu, tapi ternyata gagal. Mungkin rahimnya terlalu kuat. Akhirnya, setelah konsultasi lagi, mereka mutusin untuk mempertahankan bayi itu. Gua takut bayinya kena efek samping, tapi denger2 sih obat itu hanya bekerja pada rahim.

Kadang2 melihat dan mendengar hal2 seperti ini bikin putus asa. Bagaimana mungkin orang dewasa berakal sehat berpikiran ingin aborsi, meskipun “belum bernyawa”? Selama ini A berhasil pakai KB kalender, terbukti anak pertama dan kedua terpaut 7 tahun. Makanya dia nggak pernah khawatir. Tapi ternyata dia hamil anak ketiga, padahal anak kedua belum sampai setahun. Dalam hati gua maki2 mereka, kenapa sampai kepikiran berbuat begitu. Gua nggak betah lama2 terima telepon dia. Kebetulan si Grace, temen SMP lain yang masih kuliah di Muenchen, sedang pulang ke Indonesia, dan berkali2 menanyakan A. Setelah gua kasih nomor telepon Grace, obrolan selesai.

Memang, beberapa kali A mengeluh, dia bingung harus berbuat apa. Suaminya lulusan S1, kerja di peternakan ayam paling top di Indonesia, tapi gajinya kecil. Mungkin juga dia benar. Untuk ukuran lajang, gaji suaminya mungkin cukup. Tapi untuk keluarga dengan dua, bahkan tiga anak? A pernah menangis di depan gua, tapi gua terus terang kurang bisa connected dengan kesusahannya. Gua cuma bisa prihatin. Mungkin gua nggak suka sama suaminya, mungkin di mata gua dia kurang bisa fight.

Kalau gua lihat, mungkin pendapat si Sar ada benernya. Pernikahan memang biang segala masalah. Makanya disebut ibadah. Dulu gua kira pendapat dia cuma ekpresi ke-sableng-annya, tapi ternyata gua denger kakak perempuannya bercerai, padahal sudah punya 3 anak. Akhirnya Sar yang harus turun tangan ikut bantu ngurus keponakannya, selama kakaknya kerja. Meskipun orang tuanya berada, dia sendiri juga kerja free lance. Somehow dia bisa membagi waktu, antara kuliah, mengurus keponakan dan bekerja. Gua rasa, bahkan Sar pun nggak mau berpikir bahwa “anak adalah masalah”. Jadi kalau ada orang dewasa terpikir melakukan aborsi, gua nggak bisa terima. Kecuali untuk kasus perkosaan atau karena sakit yang membahayakan ibu, gua bisa menerima, meskipun berat mengakuinya. Di kiri-kanan gua, orang yang sudah menikah hampir selalu mengeluh. Wah, belum bayar tagihan ini-itu. Rekening telepon, air, listrik, kartu kredit, cicilan rumah, mobil, motor, bayar les anak, terapi, obat… Belum lagi atap bocor, gembok rusak, si bungsu benjol didorong kakaknya..

Gua ingin jawaban. Kemudian di tengah Geng Arisan keluar "suara prihatin", laki2 sekarang kelakuannya semakin rawan. Ada yang takut buat komitmen... Tapi, salah satu temen bilang, saat ini dia bisa dengan entengnya mengeluarkan ratusan ribu untuk perawatan rambut dan tubuh, atau apalah. “That’s the beauty of living single”, katanya. Dan kita semua tertawa. Kadang2 kegetiran bisa membuat orang tertawa. Kadang2 sesuatu yang lucu bisa pula terasa getir.

Can you feel my anxiety? Kalau seorang anak kehilangan kesempatan hidup hanya karena orang tuanya merasa tidak mampu membesarkan, siapa yang harus bertanggung jawab? Kalau semakin banyak bayi yang terlahir dengan bibir sumbing atau hidrosefalus (salah satunya karena si ibu kekurangan gizi dan kondisi lingkungan hidup yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, kontaminasi dari virus atau protozoa, sehingga pembentukan janin tidak sempurna)? Bahwa gaji seorang lulusan universitas, dengan pekerjaan yang menuntut kualifikasi S1, ternyata tidak cukup untuk menghidupi satu keluarga dengan 2 anak? Bagaimana mungkin, Anda dituntut untuk bekerja dan harus punya kemampuan sarjana, tapi nafkah yang diperoleh bahkan tidak bisa mencukupi kebutuhan paling mendasar? Dan yang paling alami sebagai manusia, membentuk keluarga? Ternyata Michael Moore benar, perbudakan belum berakhir. Ketika gua harus melakukan side job agar bisa lebih leluasa memuaskan hobi atau sedikit cari hiburan, gua nggak suka dengan ide bahwa gua diperbudak. Gua lebih suka melihatnya sebagai “keleluasaan untuk menentukan pilihan”. Toh side job bisa gua biarkan hingga molor berhari2, kadang nunggu mood datang. Tapi jika teman gua sampai “harus” punya 2 pekerjaan agar bisa menghidupi keluarga dengan “layak”, hingga ketemu anak2nya hanya beberapa jam dalam seminggu, menurut gua itu sudah bisa dibilang perbudakan. And guess what? Tuan feodal kita ternyata punya senjata ampuh bernama globalisasi. Bahkan negeri sekaya Indonesia pun bisa jatuh miskin akibat senjata ini. Menurut gua, secara tidak langsung, globalisasi itulah yang akan menghilangkan kesempatan hidup janin2 di rahim para ibu, yang takut tidak bisa membesarkan anaknya. Atau mengakibatkan terlahirnya janin2 dengan pembentukan tidak sempurna, berakibat pada anak cacat fisik atau mental. Sebegitu kejinya feodalisme modern yang terus berlangsung. Jadi, berapa nyawa lagi harus jadi tumbal?

Saturday, May 08, 2004

LIKE THIS

Jika ada yang menanyakanmu
seperti apakah kepuasan sempurna
seluruh hasrat seksual kita
akan terlihat, tengadahkan wajahmu
dan katakan

Seperti ini.

Ketika seseorang menyebutkan keanggunan
langit malam, naiklah ke atap
menarilah dan katakan

Seperti ini.

Jika siapa pun ingin mengetahui arti “jiwa”,
atau “wewangian Tuhan”,
dekatkan kepalamu padanya.
Biarkan wajahmu dekat di sana.

Seperti ini.

Ketika seseorang mengutip gambaran puitis lama
tentang awan yang berangsur-angsur memunculkan rembulan,
perlahan-lahan longgarkan simpul demi simpul
tali jubahmu.

Seperti ini.

Jika ada yang bertanya bagaimana Yesus membangkitkan orang mati,
jangan berusaha menjelaskan mukjizat itu.
Kecup saja bibirku.

Seperti ini. Seperti ini.

Jika seseorang bertanya apa artinya
“mati demi cinta”, tunjuklah
di sini.

Jika seseorang bertanya seberapa tinggi diriku, mengerenyitlah
dan ukurlah dengan jemarimu jarak
antara kerutan di dahimu.

Setinggi ini.

Terkadang jiwa meninggalkan raga, tempat kembali.
Jika ada yang tak memercayainya,
kembalilah ke rumahku.

Seperti ini.

Ketika para kekasih merintih,
mereka tengah menceritakan kisah kita.

Seperti ini.

Akulah langit tempat jiwa hidup.
Menatap biru yang semakin dalam,
selagi angin menyampaikan sebuah rahasia.

Seperti ini.

Ketika seseorang bertanya apa yang bisa dilakukan,
nyalakan lilin di tangannya.

Seperti ini.

Bagaimanakah wangi Yusuf mendatangi Yakub?

Huuuuu.

Bagaimanakah penglihatan Yakub kembali?

Huuuu.

Angin sepoi-sepoi menjernihkan mata.

Seperti ini.

Ketika Shams kembali dari Tabriz,
dia hanya akan menaruh kepalanya di pinggiran
pintu untuk mengejutkan kita

Seperti ini.

Aku terpedaya hingga terbang terlalu dekat
dengan hal yang kukira kucintai.

Kini api lilin telah mati, anggur telah tumpah,
dan para kekasih menarik diri
di suatu tempat di luar kerlinganku

Hadiah kukira kumenangkan, ternyata tidak.
Doa-doaku menjadi getir dan melulu tentang kebutaan.

Betapa menyenangkan untuk sementara
bersama mereka yang menyerah.

Yang lain hanya memalingkan wajah,
lalu satu lagi, bagaikan merpati terbang.

Aku tahu merpati yang terbang di tempat antah-berantah,
dan burung-burung yang memakan biji-bijian hampa

dan penjahit yang membuat pakaian indah
dengan merobeknya hingga compang-camping.

Yang Tercinta,
bawalah aku.
Bebaskan jiwaku.
Penuhi aku dengan kasihmu dan
bebaskan aku dari kedua dunia.
Jika kulabuhkan hatiku pada selain dirimu
biarkan api menghanguskanku dari dalam.

Yang Tercinta,
jauhkan dambaanku.
Jauhkan perbuatanku.
Jauhkan kebutuhanku.
Jauhkan segalanya
yang menjauhkan diriku dari dirimu.

Catatan : Another poem by Rumi. Sekadar berbagi, silakan berinterpretasi...
Uneg-uneg tentang Tulisan Terjemahan

Beberapa hari lalu gua menemukan satu puisi unik yang di-forward ke milis Musyawarah Burung.Bukan puisi itu yang menarik buat gua, tapi kenyataan unik betapa setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan dirinya. Kandungan puisi itu sendiri sebenarnya sudah diketahui banyak orang, tapi cara si penulis mengungkapkannya itulah yang unik, tentu akan berbeda dengan orang lain. Dan, bisa jadi, karya seseorang diinterpretasikan dalam banyak cara pula oleh orang yang berbeda2. Apa yang gua rasakan saat membaca “The Awakening” atau “Like This”-nya Rumi, tentu akan berbeda dengan yang dirasakan orang lain, bahkan dengan yang Rumi rasakan sewaktu menulisnya.

Gua sendiri sebenarnya bukan penikmat puisi. Meskipun pernah membuat satu-dua puisi, sebenarnya gua lebih tertantang untuk mencoba menerjemahkan puisi, mungkin sebagai cara untuk berbagi rasa dengan orang lain. Gua selalu menikmati jadi “messenger”, melihat reaksi, tanggapan orang2 pada apa yang gua sampaikan. Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono sempat membuat gua tersentuh atau gusar, tapi banyak juga yang malah menimbulkan tanda tanya bagi gua. Mungkin karena puisi tidak bisa dinikmati dengan kepala, tapi dengan hati. Suasana hati dan timing, buat gua, akan membentuk persepsi berbeda2 terhadap puisi.

Kalau cerpen Sapardi, nah itu, benar2 jempol. Gua bisa baca “Membunuh Orang Gila” sampai berkali2, atau “Rumah”. Ah, tetap aja gua pingin tersenyum meskipun membaca untuk kesekian kalinya. Dia memang genius. Gua baru kenal Sapardi sewaktu baca terjemahan “A Novel Without a Name”. Saat itu gua jengkel membaca novel2 terjemahan yang bahasanya membuat gua tersesat. Mulai dari “Metamorfosis”-nya Kafka, “Die Leiden des Jungen Werther”-nya Goethe, “Si Lugu”-nya Voltaire, novel2-nya Najib Mahfuz, atau “Salju Kilimanjaro”-nya Ernest Hemingway, gua baca dengan memendam kekecewaan. Kecewa, karena hasil terjemahan yang aneh dan ketidaksusesan mendapatkan sesuatu yang gua harapkan seperti waktu dulu gua membaca buku2 terjemahan karya Enid Blyton. Hasil terjemahan buku2 lama tahun ‘80-an jauh lebih bermutu daripada sekarang. Bahkan di era jauh sebelumnya, masih lebih bagus. Waktu gua dipinjemin “Animal Farm” dari British Council oleh Uut, nyokap gua teringat bahwa si mbah Kung pernah punya terjemahan karya George Orwell itu. Oh, seperti dapat harta karun. Penerjemahnya patut dipuji (sayang, buku itu masih dipinjem Cici, jadi penerjemahnya belum bisa dikasih kredit di sini). Gua baru baca edisi Inggrisnya, yang Indonesia-nya baru sekilas. Tapi gua lihat, dengan nama2 hewan penghuni peternakan yang diterjemahkan pun, si penerjemah bisa mengadaptasikan dengan tepat masing-masing karakter. Pembaca masih bisa memahami gagasan asli yang ingin disampaikan Orwell, sambil tetap merasakan sensasi yang mendekati (jika nggak bisa dibilang sama) edisi bahasa Inggrisnya. Maka gua berani bilang, tidak seharusnya seseorang mengaku dirinya seorang penerjemah jika dia hanya mengalihbahasakan kandungan “teknis” suatu tulisan, tapi tidak bisa memahami konteks budaya tulisan, bahkan jika perlu, latar belakang si penulis asli. Itu faktor penting yang akan membekali penerjemah dalam menentukan pemilihan kata2. Ini yang gua rasakan jarang ada di buku2 terjemahan baru, sepertinya pekerjaan penerjemahan hanya dinomorduakan, dan mengandalkan editor bahasa yang pengetahuannya juga terbatas.

Di “Novel Tanpa Nama” terjemahan Sapardi itu, terus terang gua sempat juga melihat ada kekeliruan, tapi sayangnya gua lupa di halaman berapa. Meskipun demikian, itu bukan hal yang mengganggu jika dibandingkan dengan keseluruhan novel yang seakan2 ditulis Sapardi sebagai “tangan pertama”. Dia laki2, tapi menerjemahkan tulisan perempuan seperti perempuan. Di bagian yang menceritakan bagaimana para prajurit
makan sup monyet, gua merasakan rasa mual yang sama seperti saat membaca satu bagian dari “Ziarah” karya Iwan Simatupang (gua tertarik membaca novel2 dia yang lain, tapi ada rasa enggan akan menemukan hal2 yang “terlampau luar biasa” dan membuat imajinasi gua kewalahan–ah, dasar gua yang bego). Tapi rasa mual masih jauh lebih baik dibandingkan kekecewaan setelah membaca terjemahan “Metamorfosis”, misalnya. Gua ada keinginan menerjemahkan “Metamorfosis” sendiri, tapi mungkin harus diawali dengan yang pendek2 dulu. Cerpennya Anton Chekov, barangkali? “The Malefactor” cukup menggigit, atau “The Death of an Official” yang benar2 mengingatkan gua akan kondisi di tengah masyarakat kita? Sepertinya itu bakal jadi tantangan bagus buat gua.
Jakarta sudah mati kutu menghadapi kemacetan?


Menyebalkan rasanya, harus menghabiskan waktu 2,5 – 3 jam untuk menempuh jarak yang seharusnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 1 jam. Ini gua rasakan semakin parah dalam beberapa bulan terakhir, sejak ada pembangunan fly-over atau underpass di beberapa titik. Sekarang yang masih under construction underpass di perempatan UKI. Kalau pagi, macet di situ bisa 30-45 menit. Hanya untuk menempuh sepenggal ruas jalan!

Sebenarnya mudah terlihat, kemacetan di Jakarta disebabkan volume kendaraan yang sudah jauh melampaui kapasitas jalan raya. Bukan karena pengemudi tidak tertib, atau mobil lewat umur masih berkeliaran di jalanan, atau pedagang asongan melintas mondar mandir di “jalan bebas hambatan”. Itu semua cuma faktor yang memperparah. Bagaimanapun, jumlah kendaraan yang seliweran di Jakarta harus dikurangi. Bagaimana lagi petugas mau mengatur nyala-hidupnya traffic light? Mau berapa menit lampu merah dinyalakan? Kondisi di lapangan luar biasa lain dengan yang diajarkan di teori arus lalu lintas atau perencanaan transportasi perkotaan, dan banyak hal-hal tidak terduga. Parameter apa lagi yang harus ditambahkan dalam formula? (Kemacetan akibat genangan air, tawuran, unjuk rasa atau pekerjaan gali-tutup lubang sepertinya sudah bisa dijadikan parameter baru, bahkan harus).

Paling gampang memang ekstensifikasi, atau penambahan lajur jalan. Bisa memperlebar ruas jalan, menaikkan atau menurunkan titik persimpangan dengan fly-over atau underpass (yang secara otomatis menambah lajur juga). Tapi tanah Jakarta sudah makin sempit. Lebih diperlukan manajemen lalu lintas yang intensif. Pembatasan jumlah kendaraan selama peak hour, misalnya. Nggak manjur juga? Kembali lagi, jumlah kendaraan harus dikurangi. Caranya? Perbaikan angkutan umum. Gua lebih suka berasumsi, kalau kondisi angkutan umum -khususnya di Jakarta- cukup baik, pengguna jalan akan beralih moda. Ngapain capek2 ngikutin macet kalau bisa duduk dengan nyaman dalam bus, bisa tidur lagi? Tapi perbaikan angkutan umum tidak semudah teori, karena secara tidak langsung diperlukan juga perubahan gaya hidup dan cara pandang pengguna jalan. Perlakuan terhadap fasilitas umum saja, misalnya, masih sangat memprihatinkan. Masih banyak akibat kejahilan tangan dan rasa tidak memiliki yang membuat kondisi fasilitas umum seperti bus kota tampak menyedihkan.

Sekitar sepuluh tahun lalu, mass rapid transit (MRT) cukup ramai dibicarakan. Kampus gua juga ikut ngadai seminar tentang ini, manggil professor dari Inggris segala. Tapi entah kenapa, MRT nggak pernah terwujud. Yang ada justru sekarang busway, penyelesaian cukup aneh dari masalah yang serius. Seingat gua, selama kuliah nggak ada seorang pun dosen yang pernah menyebut2 soal busway. Tiba2, begitu gua nggak pernah bersentuhan lagi dengan dunia ilmu transportasi, muncul makhluk yang satu ini. Seperti gua bilang, busway memang aneh. Bayangkan, untuk tiba di terminal busway, orang harus naik feeder bus dulu. Busway sendiri cuma melayani rute Blok M-Kota. Memotong jumlah jalur yang biasa dipakai banyak kendaraan di Sudirman-Thamrin. Otomatis, jalanan untuk kendaraan selain busway jadi lebih macet. Orang nggak serta merta mau pindah dari mobil pribadi ke busway, karena beberapa hal. Bisa jadi pekerjaannya memang menuntut mobilitas tinggi, jadi harus sering pergi ke banyak tempat yang tidak dilewati busway. Atau demi kepraktisan, karena untuk naik bus itu, orang harus naik feeder bus lebih dulu. Kalau rumahnya nggak dilewati feeder bus, harus nambah lagi dengan angkot, ojek, dlsb. Naik turun kan makan waktu juga, apalagi kalau ada acara ngetem segala. Pokoknya nggak praktis.

Angkutan umum massal adalah tulang punggung kota besar. Ini yang sepertinya nggak dipahami benar oleh pemda Jakarta. Atau paham, tapi pura2 nggak paham dan menutup mata saja, karena banyak proyek lain yang lebih menggiurkan dan nggak seberapa memusingkan untuk digarap. Kalau menengok ke kota2 besar di negara lain, angkutan kotanya bikin sirik. Di Paris ada metro, di New York, Chicago, ada KA plus subway, Jepang juga. Di Kuala Lumpur atau Singapura juga ada kereta. Di Hannover dan Frankfurt ada S-Bahn, U-Bahn, plus Stadtbus, semua rute terintegrasi. Jadi kalau gua turun dari pesawat mau langsung ke Bovenden, wilayah Goettingen yang kira2 setingkat kecamatan Ciawi-nya Bogor, gua tinggal cari KA ekspres ICE ke Hannover, terus dari stasiun (Bahnhof) Goettingen cari Stadtbus ke Bovenden. Menunggu berapa lama pun bisa dilakukan di stasiun yang cukup cozy. Atau kalau ICE kemahalan, bisa milih salah satu dari dua rute. Kalau nggak salah lewat Bebra dan Fulda atau lewat Kassel. Kalau lewat Bebra-Fulda, gua harus pindah kereta dua kali. Kalau Kassel, cuma sekali. Setiba di Goettingen, tinggal cari bus ke Bovenden. Memang sih, bus ke Bovenden waktu gua di sana cuma ada sejam sekali. Kalau ketinggalan, lama nunggu bus berikutnya. Tapi semua rute sudah diperhitungkan dengan tepat, alias integrated. Dan kendaraannya selalu ada. Dari Frankfurt ke kampus TU di pinggiran Darmstadt? Naik bus ke Bahnhof, cari KA yang lewat Darmstadt, di Darmstadt naik lagi Strassenbahn (trem) ke arah kampus TU. Waktu menunggu nggak akan terlalu lama, apalagi kota cukup padat seperti Darmstadt. S-bahn bisa aja penuh seperti KA Jabotabek, tapi waktu dan rutenya pasti. Nggak ada penumpang telat atau diturunin di tengah jalan.

Memang enak kalau hidup sudah ada standarnya, temasuk standar atau “kepastian” di jalan raya itu. Pikiran pemakai jalan bisa lebih konsen ke pekerjaan atau kesibukan lain, nggak perlu musingin gimana2 di jalan. Orang Jakarta dibikin pusing karena serba nggak pasti. Makanya, untuk mencari kepastian itu, orang lebih suka pakai mobil pribadi, meskipun capeknya nyetir setengah mati. Belum lagi kalau setelah hujan, terus banjir. Mengerikan. Tapi, yang pasti, senyum pengusaha otomotif bakal semakin lebar, termasuk juga pengusaha pom bensin, sampai pak ogah, tukang parkir dan joki three in one. Celah2 itu sangat banyak dan bisa dimanfaatkan kapan saja. Gua nggak nyalahin mereka, karena mereka cuma melihat peluang di depan mata. Namanya juga bagi2 rejeki. Gua cuma heran, kapan Jakarta bisa punya mass rapid transit yang dulu ramai dibicarakan itu? Kenapa sekarang yang nongol si busway yang kapasitasnya pas2an itu? Jangan2 kita udah telat 30 tahun, lantaran Jakarta udah terlalu “matang” untuk ditambah rute subway atau trem. Harusnya kan dibikin jaman rikiplik dulu, bersamaan dengan seru2nya proyek mercu suar gelora atau monas? Konon zaman dulu di Jakarta ada trem, tapi entah kenapa ditiadakan. Oke lah, mungkin trem memang nggak cocok untuk Jakarta masa kini yang “rawan gesekan”, tapi bayangkan betapa indahnya jika Jakarta punya subway, yang rutenya terintegrasi dengan bus kota. Seperti metro di Paris, U-Bahn di Frankfurt atau subway di New York? Aduh, kapan yaa?