Wednesday, May 19, 2004

THE HEAVEN OF PEUCANG
(sumbangan AMGD)

Perahu kecil melaju pelan melintas samudra ditengah ombak yang datang bergelombang diterpa angin. Membuat perahu naik turun oleng kekanan dan kekiri bergerak tak beraturan mengikuti ombak yang datang menghadang. Para penumpang yang ada di dalamnya menjadi was-was, cemas, gugup sekaligus gembira bercampur aduk jadi satu.

Bagi para adventurer tentu tak asing lagi mendengar Pulau pecang, baik yang sudah berkunjung kesana ataupun melalui TV, website atau media-media lainnya. Gambaran-gambaran yang pernah kita lihat dan kita dengar ternyata tak jauh beda dengan apa yang ada disana, bagaimana proses perjalanan kesana yang memang menyenangkan dan penuh dengan tantangan. Pesona keindahan alam yang bisa membuat hati terpikat pun kita akan banyak temukan disana.

Berdasarkan pengalaman rombongan kami kemarin, ternyata memang tidak puas kalau kita tidak berlama-lama disana karena gugusan pulau di sekitar Peucang pun banyak menampilkan wisata bahari yang sayang untuk dilewatkan. Untuk menuju Peucang lumayan jauh jaraknya jika ditempuh dari Jakarta namun hal itu tidak menjadi masalah jika ada keinginan untuk pergi kesana. Rombongan kami bergerak menuju kesana pada Jum'at malam ( 03 Oktober 2003 ) jam 21.30 . Kurang lebih setelah menempuh perjalanan 2,5 jam kami tiba di Lippo Carita. Perjalanan sepanjang tol Jakarta-Merak memang perjalanan yang cukup menjemukan karena praktis hanya hamparan sawah kering yang membentang disepanjang kanan-kiri jalan, tidak ada sesuatu yang membuat menarik untuk dilihat. Tapi begitu keluar di Cilegon segera pemandangan indah lampu warna-warni yang menjulang tinggi dari pabrik-pabrik yang ada dikawasan itu membuat kita menjadi fresh lagi menikmati untuk menikmati perjalanan. Terus melaju ke arah barat sampailah kami didaerah Karang Bolong yang jalannya cukup dekat dengan laut hingga kita bisa melihat putihnya ombak dan hembusan angin pantai yang membuat jiwa dan hati tentram sembari mengagumi keagungan Ilahi. Tak berapa kemudian sampailah kami di Lippo Carita untuk menghabiskan waktu malam itu. Karena sudah cukup lelah praktis malam itu kami semua langsung segera menuju peraduan untuk menikmati mimpi yang tertanam dalam hati masing-masing.

Keesokan harinya habis subuh Sabtu ( 04 Oktober 2003 ) kami melanjutkan perjalanan ke arah desa Citangkil. Kali ini rombongan ditemani rekan-rekan dari WWF yang akan memandu kami sampai di Pulau Peucang. Setelah membeli segala keperluan untuk memasak di Pasar Labuan perjalanan segera kami teruskan untuk menuju desa Citangkil. Jalanan yang turun naik, belokan-belokan tajam dengan suasasa yang sejuk mengikuti perjalanan ini karena hutan tropis yang mengapit jalan sekaligus membuat keasikan tersendiri menempuh perjalanan lewat jalur ini. Dibalik mulusnya jalan kadang kita temukan lubang-lubang yang cukup besar hingga kita harus ekstra hati-hati kalau tidak mau as mobil kita patah. Dua jam lamanya kami tempuh perjalanan ke Citangkil yang merupakan etape pertama jadwal perjalanan kami ke Peucang. Sesampainya disana kami mengunjungi CANOPI salah satu persatuan remaja binaan WWF di desa tersebut. Berbagai kreatifitas banyak mereka ciptakan sebagai hasil karya bersama. Selain membuat kaos dengan gambar khas badak bercula satu dan marking ujung Kulon juga membuat patung kecil badak bercula satu dari kayu mahoni yang unik dan lucu. Rata-rata kaos tersebut dijual dengan harga 30 ribu s/d 50 ribu begitupun dengan patungnya tergantung dari ukurannya dengan harga antara 20 ribu s/d 50 ribu rupiah. Setelah membeli handicraft tersebut kami pun melanjutkan perjalanan ke arah desa Paniis. Kurang lebih setelah menempuh perjalanan 1 jam kami tiba di markas WWF yang terletak di Sumur. Bertemu dengan Pak Hari salah satu koordinator WWF di wilayah tersebut sangat menyenangkan sekali. Kami banyak berdiskusi mengenai peran WWF khususnya didareah ini. " Kami ingin memberikan penyadaran kepada masyarakat betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup," kata Pak Hari. Apalagi memang rumah-rumah penduduk tersebut berbatasan langsung dengan Taman Nasional Ujung Kulon yang sudah terkenal di seantero dunia. Selain hal tersebut WWF juga menjadi mediator jika ada pihak-pihak lain yang ingin mengadakan kegiatan bersama dengan penduduk setempat. Walaupun kelihatan pendiam namun Pak Hari juga sempat mengecam kebijakan pemerintah untuk memberikan HPH kepada para pengusaha yang lebih banyak menghasilkan kerusakan daripada keberhasilan.

Hampir setengah jam lamanya kami berada disitu sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Desa Paniis. Kali ini kami betul-betul merasakan apa sebetulnya arti off road. Jalanan yang berlobang, berbatu turun naik harus kami lewati sepanjang 12 km. Namun kekesalan itu seakan berakhir ketika 3 km menjelang Paniis jalanan yang kami lewati hanya berbatas beberapa meter dari pantai hingga laut yang kebiruan tampak alami dan membuat hati serasa menjadi biru mengikuti warna air tersebut. Kurang lebih jam 12.30 kami sampai di desa Paniis, yang membuat kami terharu ketika datang 2 rombongan mobil kami disambut oleh puluhan anak kecil yang melambai-lambaikan tangan serta tertawa riang melihat kami datang. Ketika sampai di rumah Kepala Desa Paniis Ternyata makanan siang sudah disiapkan sebelumnya untuk menyambut kedatangan kami. Setelah berbincang-bincang dengan penduduk sekitar kami segera menuju ke perahu untuk menuju Peucang.

Perjalanan ke Peucang kali ini kami ditemani oleh beberapa penduduk sekitar yang akan membantu penyiapan akomodasi di Peucang juga oleh Bang Pinor salah satu tebaga ahli dari WWF bidang kelautan yang pernah bekerja di seaworld ancol ini. Kami pun merasa tenang karena ditemani oleh orang yang sudah familiar di wilayah tersebut. Satu per satu dari rombongan kami pun naik perahu yang telah tertambat di tepi pantai. Segera setelah selesai semua perahupun mulai melaju dengan tenangnya. Namun ketenangan itu mulai terusik ketika perlahan-lahan namun pasti ombak mulai datang. Ombak yang datang bergelombang bahkan kadang-kadang tingginya sampai 1,5 m betul-betul membuat jantung kami mau copot. Rombongan wanita semuanya berteriak karena hampir semuanya dari kami tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Namun Bang Pinor segera menghibur kami kalau ini tidak apa-apa, karena memang sekarang sedang ada angin selatan yang memang kurang sedikit bagus. Walaupun kami masih sedikit takut namun tak mungkin untuk memutar perahu kembali ke Paniis lagi. Hampir satu jam kami was-was terus karena ombak tersebut. Setelah itu barulah ombak tenang dan kami betul-betul bisa menikmati pantai di sepanjang Ujung kulon dengan pasir putihnya, hutan tropis yang masih lebat dan delta-delta yang terlihat jelas dari perahu kami. Melihat pulau-pulau tersebut betul-betul membuat kami semua terdiam, berfikir dan berimajinasi bagaimana memahami keindahan itu.

-to be continued-

Catatan : Kapan ya gua ke sana?? Bikin sirik neh...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home