Tuesday, August 31, 2004

IT’S FULL MOON AGAIN

Bulan, aku datang lagi. Mengunjungimu selalu bisa mengobati rinduku. Ah, aku keliru, karena sesungguhnya kaulah yang muncul sebulan sekali. Tapi, mengapa selalu aku yang mendatangimu?

Bulan, sadarkah kau telah menyempurnakan keberadaanku?
Saat kaunamai aku : Vampir.

Lalu kauminta aku menghantuimu di malam-malam dingin dan sepi. Di saat aku meluangkan waktu menikmati kehadiranmu sampai hari dini. Dan berlanjut hingga matahari kembali menghilang, senantiasa tanpa henti.

Bulan, kaubuat aku….terlena, terhanyut.
Dan setiap sendiku gusar memberontak di gelap malam kehilangan sinarmu.
Dan kubilang, “Ini masih vampir-mu dulu. Vampir-mu selalu aku.”

Bulan, diriku abadi sebab vampir tak bisa mati.
Maka nantikan aku tengah malam ini.
Tak perlu hanya sebulan sekali.

Monday, August 30, 2004

ESCAPE TO LOMBOK (PART 2)

Hari kedua kami habiskan di kota Mataram. Setelah mampir sebentar untuk cari kaos suvenir khas Lombok di Pasar Cakranegara, kami menuju Taman Mayura, Taman Narmada dan Pura Lingsar.

Taman Mayura dulu berada satu halaman dengan pura, tapi pembangunan jalan membuat lokasi taman terpisah dengan pura. Saat ini yang terbuka untuk umum tamannya aja, sedangkan pura hanya untuk yang ibadah. Sebelum memasuki taman, para tamu (artinya bukan penduduk lokal) harus pakai sabuk kain warna kuning (aduh, lupa sebutannya..). Di Taman Mayura ada danau buatan cukup luas, sehingga terkesan sejuk meskipun waktu kami ke sana udara siang itu lumayan panas.

Di Taman Narmada juga ada pura dan mata air yang konon bisa bikin awet muda. Gua nggak cobain minum, tapi sempat juga ngintip pondok tempat sumur itu. Ternyata di dalam udah dipasang tegel porselen, juga ada meja tempat meletakkan sesajen. Taman di sini lebih cantik, pasti dulunya asri banget. Kontur tanah yang berbukit-bukit juga memberi kesan megah. Dari rumah panggung yang terletak di ketinggian, konon sang Raja dulu suka nonton para selirnya mandi di kolam tempat pemandian yang terletak di bawah (walah,…salah satu cara menikmati kemakmuran..??). Gua nggak motret kolam itu, karena waktu kami datangi lokasi di sekitar kolam dipenuhi orang2 yang lagi piknik (selain saat itu hari Minggu, di sebelahnya dibangun kolam renang umum pula).

Selanjutnya Pura Lingsar, yang dipakai bukan hanya oleh umat Hindu tapi juga Islam tradisional Lombok (istilahnya Islam Waktu Telu). Di lokasi pura ini tidak boleh dilakukan penyembelihan sapi maupun babi, untuk menghormati kedua agama itu. Ada satu fakta menarik tentang tata cara berkunjung ke lingkungan pura. Selain harus mengenakan sabuk kuning tadi (buat yang bukan native), orang yang sedang sebel juga nggak boleh masuk. Mungkin maksudnya, di tempat ibadah hati nggak boleh keruh.

Di Pura Lingsar ada kolam permintaan. Orang boleh melemparkan koin ke kolam sambil membalikkan badan dan menyebutkan keinginannya. Setiap beberapa minggu koin-koin itu dikeluarkan dari kolam. Di sebelah kolam ada meja sesajen tempat deretan batu2 dari Gunung Rinjani. Kata Heri si pemandu, tidak ada yang bisa menghitung dengan tepat jumlah batu2 itu. Menghitung tiga kali : dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, lalu kembali dari kiri ke kanan, jumlahnya nggak akan bisa sama. Berkali2 si Queen ngitung, tapi jumlahnya selalu beda.

Selain itu, orang boleh mencoba peruntungan dengan memanggil belut-belut yang disucikan. Ada penjaga pura yang bisa membantu melakukannya. Cara panggilnya? Dengan telur rebus. Menurut pak penjaga pura, belut-belut yang hidup di saluran di dasar pancuran (pancuran ini merupakan terusan kolam permintaan yang terletak di sebelah atas) akan menampakkan diri jika si pemberi telur beruntung. Dan belut-belut di situ konon besar-besaaar, bisa sampai sebesar paha. Hiii.. Tapi karena pingin tahu, gua dan Queen coba juga beli telur rebus masing2 sebutir. Pingin lihat, segede apa sih belutnya?

Penjaga pura datang untuk membantu kami memberi makan belut. Wah, kayaknya belutnya nggak mau keluar tuh… Setelah beberapa saat nunggu, tiba-tiba seekor belut keluar dari lubang di bawah pancuran dan berenang menyambut telur dari tangan penjaga pura. Belutnya besaaaar…saking kagetnya kami bengong aja ngeliat dia berenang. Gua bilang ke Queen, “Eh, itu telur siapa, ya? Siapa nih di antara kita yang beruntung? Ya udah, kita bagi2 keberuntungan aja lah yauw, sama temen..” Pas telur rebus kedua diberikan, kami udah nggak berharap si belut muncul (karena kami pikir dia udah kenyang makan sebutir atau malu banyak yang nonton). Ternyata dia balik lagi, menyambut telur kedua, lalu kembali ke lubang asal pertama kali dia muncul. “Horee, kalo gitu sekarang kita sama2 beruntung dong!” Hmmm…tunggu. Sebenarnya kami cuma kepingin liat belut raksasa itu kok, nggak kurang dan nggak lebih. Setelah lihat, kan jadi nggak penasaran lagi. Kata penjaga pura, yang keluar itu baru anaknya. Kalau induknya yang keluar, gua dan Queen mungkin lari ketakutan. Bayangin aja, anak belut itu berdiameter hampir 10 cm dengan panjang sekitar semeter! Lha, gimana induknya coba??

Wednesday, August 25, 2004

ESCAPE TO LOMBOK

Tanggal 13-17 Agustus kemarin, gua dan my ex-roomie, Queen, jalan ke Lombok. Penasaran ngeliat pulau ini yang konon masih sangat alami dan sangat tenang. Ternyata bukan itu aja. Suasananya pun sangat santai.. Waktu baru tiba di sana, terus terang agak bingung juga menyesuaikan diri dengan irama kehidupan Lombok. Tapi setelah seharian di sana, gua mulai ngerti dan merasa lebih baik jika gua mengikutinya. So I just played along with the rhythm… Santaaai….

Hari pertama kami ke salah satu pusat pembuatan gerabah di Desa Banyumulek. Salah satu ibu pengrajin memperagakan pembuatan gerabah. Menurut si ibu, dia membuat gerabah sejak masih kecil (ABG kali ye..). Takjub juga lihat gerakan tangannya yang cekatan waktu buat piring makan. Kalo nggak salah, dalam sehari dia bisa membuat belasan piring makan. Selain piring, si ibu juga pandai membuat guci dan kendi. Kendi tradisional Lombok yang disebut “kendi maling” juga unik. Pengisian air dilakukan lewat lubang di dasar kendi. Bagian dalam kendi dibuat berbentuk tabung sedemikian rupa, sehingga meskipun kendi dibalik setelah pengisian, air di dalam kendi tidak akan tumpah.

Tempat kedua yang kami kunjungi terletak di Desa Sukarara, pusat kerajinan tenun songket Lombok dan tenun ikat. Alat tenun songket hanya selebar 60 cm. Jadi, kalau ingin membuat sarung dengan lebar lebih dari 60 cm, kain hasil tenunan harus dijahit. Karena pengerjaan dengan tangan, kain yang dibuat juga lama jadinya. Untuk menghasilkan tenunan selebar 60 cm, dalam sehari paling2 hanya maju sekitar 10 cm. Jadi untuk sarung? Sebulan kali yee… Selain itu, tenun songket tidak pakai pola. Semua motif, corak atau pola ada di benak si pengrajin. Jangan heran kalo sehelai sarung tenun songket bisa bernilai di atas Rp. 500 ribu, karena sehelai sarung itu merupakan perwujudan ketelitian, ketekunan, kesabaran, daya kreasi dan imajinasi si pengrajin.

Berikutnya, Desa Sade yang didiami sekitar 120 kepala keluarga suku Sasak. Tadinya gua deg2an juga. Seperti apa ya, suku Sasak itu? Di perkampungan kami didampingi salah satu bapak yang relatif “modern”, dan bisa berbahasa Indonesia. Mata pencaharian suku Sasak terutama bertani, atau jadi pengrajin. Menurut Heri, pemandu wisata kami, warga suku Sasak yang berusia 30-an ke bawah rata2 sudah sekolah dan ngerti bahasa Indonesia. Sedangkan yang senior kebanyakan nggak ngerti bahasa Indonesia. Sambil ngobrol dengan beberapa ibu, gua juga sempet ngrasain jadi penenun lho.. Menenun itu susah, nggak telaten dah gua. Dalam tradisi Sasak, anak gadis baru boleh menikah setelah dia bisa menenun. Setelah gua pikir2, bener juga ya. Menenun itu kan butuh kesabaran tinggi. Mungkin maksudnyaaa, kalo udah bisa menenun, cewek2 udah bisa melatih kesabaran, udah siap jadi istri dan ibu.

Rumah tradisional Sasak dibuat dari kotoran kerbau campur pasir. Atapnya dari ijuk. Uniknya, karena kotoran kerbau itu, justru nyamuk nggak mau masuk. Setiap 2 minggu sekali, lantai dan tembok masih “dipel” dengan air dan campuran kotoran kerbau, untuk mengatasi debu akibat hawa kering. Anak perempuan mendapat kamar khusus di bagian dalam rumah yang menyerupai panggung (seakan ada 2 lantai, tapi beda ketinggian nggak terlalu besar). Lalu di sebelahnya ada dapur. Kamar orang tua langsung bertemu dengan pintu keluar (di lantai bawah). Bagaimana dengan anak lelaki? Mereka nggak dibuatin kamar. Terserah, mau tidur di mana. Di teras boleh, di langgar boleh, sambil ngeronda juga boleh… (waaah, kesiaan deh lu pade, hehehe). Nah, mumpung di depan rumah yang kami kunjungi ada lumbung baru, sekalian aja deh foto2 di lumbung. Pokoknya, segala gaya dijabanin..! Satu lumbung itu akan dipakai oleh 5 keluarga, dan pembuatannya dilakukan –sudah tentu- secara gotong-royong.

Setelah meninggalkan Desa Sade, kami terus meluncur ke selatan Lombok, menuju Pantai Kuta dan Tanjung Aan. Pantai Tanjung Aan itu unik, karena pasirnya ada dua jenis. Sebagian bulat-bulat seperti merica, sebagian lagi pasir halus. Menurut legenda, pasir kasar melambangkan Raja yang gagah dan kuat, sedangkan pasir halus melambangkan Ratu yang lembut dan penuh kasih. Sulit dilukiskan kecantikan Pantai Tanjung Aan. Suasananya juga sangat tenang dan pantainya bersih. Airnya? Lihat sendiri di foto.. Keren, kan?



Tuesday, August 24, 2004

TEMPAT-TEMPAT CANTIK

Dalam beberapa minggu ini gua banyak melihat tempat-tempat baru.. The world is no doubt an interesting place. Hm, saking 'kesima-nya, jadi bingung mau mulai ngeblog dari mana. Ya sud.. dimulai dengan gambar ini dulu deh, beberapa foto waktu ke Curug Cibeureum di Cibodas. Sebenarnya tempat ini bukan sama sekali baru buat gua, karena dulu udah pernah ke Cibodas atau Gunung Gede. Tapi kali ini gua pergi sama rombongan kantor, satu departemen... Nggak semua ikut sih, tapi lumayan 'lah bikin berisik lokasi kemping, hehehe.. Kapan-kapan jalan lagi, ya?


Tuesday, August 03, 2004

FULL MOON AT CIBODAS

Akhirnya aku bertemu kembali dengan sang Alam. Hanya ada kami berdua.

Oh, betapa aku merindukanmu, Kebenaran sejati. Sudah lama aku memendam keinginan bertemu denganmu. Terimalah kedatanganku walau sejenak. Inilah aku, sendirian. Hanya ada kau dan aku.

Suara burung meningkahi. Memberi selamat atas pertemuan kami.

Kaulah satu-satunya yang dengan tulus menerimaku.
Bagaimana mungkin aku tidak merasa kehilanganmu?
Kaulah satu-satunya yang tidak pernah berpura-pura di depanku.
Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu?

Ekstase. Angin meniupkan suasana damai, seakan turut berbahagia bersama kami. Kami bermesraan. Aku dan sang Alam.

Maafkan aku bila berkali-kali lalai dan mengkhianatimu. Kini, biarkan aku mengagumimu, berdiri di sini. Aku tahu kau tak akan jauh. Maukah kau kuberi tempat tersembunyi, jauh di pusat bawah sadarku? Hanya kau dan aku yang tahu jalan ke sana. Ah, senyumanmu tak pernah membuatku ragu.

Dia hanya diam, namun cicit burung dan gemerisik daun lagi-lagi menyemangatiku. Mereka pun ingin agar kami saling membuat janji untuk bertemu kembali.

Baiklah, jika itu yang harus kulakukan. Kita tak akan berpisah.

Malam itu bulan purnama telah menjadi saksi pertemuanku dengan sang Alam. Dibisikkannya dalam tidurku, "Kau merasa bahagia, aku bisa melihatnya dari sunggingan di sudut bibirmu."

P.S. : 31 Juli - 1 Agustus 2004