Sunday, May 09, 2004

REALITY BITES, AND FACT IS A BITCH

Beberapa hari yang lalu, A, temen SMP gua telepon. Yang bikin gua sebel, waktu dia cerita bahwa dia sempat aborsi kandungan anak ketiganya. Dia dan suaminya panik waktu tahu dia hamil, lalu ke dokter umum minta aborsi. Gua baru tahu ada suntikan yang bisa bikin rahim kontraksi, dan otomatis menggugurkan kandungan. Dan itu ada di dokter umum. Jadi, A diantar suaminya ke dokter untuk disuntik obat itu, tapi ternyata gagal. Mungkin rahimnya terlalu kuat. Akhirnya, setelah konsultasi lagi, mereka mutusin untuk mempertahankan bayi itu. Gua takut bayinya kena efek samping, tapi denger2 sih obat itu hanya bekerja pada rahim.

Kadang2 melihat dan mendengar hal2 seperti ini bikin putus asa. Bagaimana mungkin orang dewasa berakal sehat berpikiran ingin aborsi, meskipun “belum bernyawa”? Selama ini A berhasil pakai KB kalender, terbukti anak pertama dan kedua terpaut 7 tahun. Makanya dia nggak pernah khawatir. Tapi ternyata dia hamil anak ketiga, padahal anak kedua belum sampai setahun. Dalam hati gua maki2 mereka, kenapa sampai kepikiran berbuat begitu. Gua nggak betah lama2 terima telepon dia. Kebetulan si Grace, temen SMP lain yang masih kuliah di Muenchen, sedang pulang ke Indonesia, dan berkali2 menanyakan A. Setelah gua kasih nomor telepon Grace, obrolan selesai.

Memang, beberapa kali A mengeluh, dia bingung harus berbuat apa. Suaminya lulusan S1, kerja di peternakan ayam paling top di Indonesia, tapi gajinya kecil. Mungkin juga dia benar. Untuk ukuran lajang, gaji suaminya mungkin cukup. Tapi untuk keluarga dengan dua, bahkan tiga anak? A pernah menangis di depan gua, tapi gua terus terang kurang bisa connected dengan kesusahannya. Gua cuma bisa prihatin. Mungkin gua nggak suka sama suaminya, mungkin di mata gua dia kurang bisa fight.

Kalau gua lihat, mungkin pendapat si Sar ada benernya. Pernikahan memang biang segala masalah. Makanya disebut ibadah. Dulu gua kira pendapat dia cuma ekpresi ke-sableng-annya, tapi ternyata gua denger kakak perempuannya bercerai, padahal sudah punya 3 anak. Akhirnya Sar yang harus turun tangan ikut bantu ngurus keponakannya, selama kakaknya kerja. Meskipun orang tuanya berada, dia sendiri juga kerja free lance. Somehow dia bisa membagi waktu, antara kuliah, mengurus keponakan dan bekerja. Gua rasa, bahkan Sar pun nggak mau berpikir bahwa “anak adalah masalah”. Jadi kalau ada orang dewasa terpikir melakukan aborsi, gua nggak bisa terima. Kecuali untuk kasus perkosaan atau karena sakit yang membahayakan ibu, gua bisa menerima, meskipun berat mengakuinya. Di kiri-kanan gua, orang yang sudah menikah hampir selalu mengeluh. Wah, belum bayar tagihan ini-itu. Rekening telepon, air, listrik, kartu kredit, cicilan rumah, mobil, motor, bayar les anak, terapi, obat… Belum lagi atap bocor, gembok rusak, si bungsu benjol didorong kakaknya..

Gua ingin jawaban. Kemudian di tengah Geng Arisan keluar "suara prihatin", laki2 sekarang kelakuannya semakin rawan. Ada yang takut buat komitmen... Tapi, salah satu temen bilang, saat ini dia bisa dengan entengnya mengeluarkan ratusan ribu untuk perawatan rambut dan tubuh, atau apalah. “That’s the beauty of living single”, katanya. Dan kita semua tertawa. Kadang2 kegetiran bisa membuat orang tertawa. Kadang2 sesuatu yang lucu bisa pula terasa getir.

Can you feel my anxiety? Kalau seorang anak kehilangan kesempatan hidup hanya karena orang tuanya merasa tidak mampu membesarkan, siapa yang harus bertanggung jawab? Kalau semakin banyak bayi yang terlahir dengan bibir sumbing atau hidrosefalus (salah satunya karena si ibu kekurangan gizi dan kondisi lingkungan hidup yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, kontaminasi dari virus atau protozoa, sehingga pembentukan janin tidak sempurna)? Bahwa gaji seorang lulusan universitas, dengan pekerjaan yang menuntut kualifikasi S1, ternyata tidak cukup untuk menghidupi satu keluarga dengan 2 anak? Bagaimana mungkin, Anda dituntut untuk bekerja dan harus punya kemampuan sarjana, tapi nafkah yang diperoleh bahkan tidak bisa mencukupi kebutuhan paling mendasar? Dan yang paling alami sebagai manusia, membentuk keluarga? Ternyata Michael Moore benar, perbudakan belum berakhir. Ketika gua harus melakukan side job agar bisa lebih leluasa memuaskan hobi atau sedikit cari hiburan, gua nggak suka dengan ide bahwa gua diperbudak. Gua lebih suka melihatnya sebagai “keleluasaan untuk menentukan pilihan”. Toh side job bisa gua biarkan hingga molor berhari2, kadang nunggu mood datang. Tapi jika teman gua sampai “harus” punya 2 pekerjaan agar bisa menghidupi keluarga dengan “layak”, hingga ketemu anak2nya hanya beberapa jam dalam seminggu, menurut gua itu sudah bisa dibilang perbudakan. And guess what? Tuan feodal kita ternyata punya senjata ampuh bernama globalisasi. Bahkan negeri sekaya Indonesia pun bisa jatuh miskin akibat senjata ini. Menurut gua, secara tidak langsung, globalisasi itulah yang akan menghilangkan kesempatan hidup janin2 di rahim para ibu, yang takut tidak bisa membesarkan anaknya. Atau mengakibatkan terlahirnya janin2 dengan pembentukan tidak sempurna, berakibat pada anak cacat fisik atau mental. Sebegitu kejinya feodalisme modern yang terus berlangsung. Jadi, berapa nyawa lagi harus jadi tumbal?