Friday, September 24, 2004

KELIRU LAYANG-LAYANG

Dia bilang aku layang-layang lepas
terbang bebas
di awang-awang

Dia keliru

Kadang aku pohon rindang
tegar
menjadi naungan

Kadang aku mawar merah
wangi
menyimpan bahaya di balik duri

Kadang aku tembok putih
tak bergeming
kala dicoreti
atau dikencingi

Dia keliru

Memang
Kadang aku layang –layang

Tapi kubilang,
“Aku bukan layang-layang lepas,
sebab layang-layang tak selalu bebas"

Aku angin
Kendaraan si layang-layang



P.S. : Terima kasih pada orang yang sudah menyebut kami layang-layang lepas

Wednesday, September 15, 2004

HAVE I GONE KAFKA?


“The Metamorphosis” oleh Franz Kafka :
“Ketika pada suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruk, dilihatnya dirinya telah berubah menjadi seekor kecoak di atas ranjang”.

Kecoak di mana pun selalu dianggap hina, menjijikkan, "layak" diinjak. Benar. Kadang gua bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah gua sekarang sudah berubah jadi kecoak? Atau mirip kecoak?” Pertanyaan ini muncul setiap kali gua merasa tidak berhak punya kendali atas diri sendiri, ketika gua merasa hidup dalam suatu mekanisme yang dibatasi pola-pola tertentu. Hidup seperti robot, terjebak dalam rutinitas, miskin kreativitas, kurang inovatif, berpikir sempit dan pendek… Duh, kapan gua nggak merasa seperti itu? Bahkan sepertinya hal ini semakin sering gua rasakan. God, have I gone Kafka?

Sohib gua (wanita lajang, engineer di perusahaan konsultan asing) pernah mengeluh. “Sepertinya gua sudah tua. Sekarang gua selalu ngerasa lekas capek. Padahal gua rajin olahraga dan makan teratur. Tapi tetap aja, sedikit2 sakit ini, sakit itu..” Menurut gua, cara pikir dia kayaknya udah kebalik.. Dia yang cuma sempat istirahat (= tidur) kira-kira 5 jam per hari, dan harus bekerja dengan konsentrasi tinggi (karena harus menganalisis struktur bangunan dan biaya), harus menikmati macetnya jalanan di Jakarta setiap pergi-pulang kerja, dan hampir setiap hari Sabtu ngelembur demi mengejar deadline proyek.. Siapa yang nggak bakalan gempor, kalo nglakonin kayak gini tiap hari? Lalu dia pun menyalahkan tubuhnya, ciptaan Tuhan yang sempurna, yang punya mekanisme ajaib untuk mempertahankan diri, dan punya kemampuan memberi sinyal2 jika ada “malafungsi”. Barang apa pun pasti rusak jika digunakan melampaui kapasitasnya, padahal tubuh manusia itu udah paling canggih.

Lalu tibalah saat-saat kejar tayang, deadline itu. Ketika semua orang, termasuk gua, harus mempercepat ritme kerja dan semaksimal mungkin menjaga kualitas output. Hari ini selesai, besok datang lagi, besok selesai, lusa datang lagi.. Terus begitu berturut-turut. Belum lagi gangguan2 kecil yang datang.. Dan gua, saking kepingin memenuhi deadline, secara otomatis “mengeliminasi” gangguan itu. Tapi apa yang gua dapat? Ternyata nggak semua orang bisa menerima sikap ini, dan gua pun “berubah” jadi tidak manusiawi. Have I gone Kafka? Tepatnya, have I gone Gregor Samsa?

Benarkah dugaan gua, bahwa rutinitas berkepanjangan akan menuju pada dehumanisasi, diawali menurunnya kemampuan sosialisasi seseorang ketika mengalami kesulitan untuk sekadar bertegur sapa secara normal? Benarkah kita semua –pada dasarnya- saat ini tidak lebih daripada robot-robot yang digerakkan mengikuti pola2 tertentu, dan miskin prakarsa? Atau, jangankan untuk mengobrol santai dengan orang lain, ngebales SMS yang sekian baris aja rasanya jadi terlalu menyita waktu? (Maaf ya pren, semuanya.......kalau2 ada yang pernah ‘ngrasa dicuekin)

Maka, bersyukurlah mereka yang sibuk namun masih bisa membagi waktu untuk keluarga, teman, dan orang lain yang membutuhkan mereka. Dan bersyukurlah Anda yang masih bisa tersenyum ketika terpaksa menjadi robot. Atau Anda sudah jadi kecoak?




Wednesday, September 08, 2004

SANG KESATRIA

"Ketika seorang lelaki berbohong, dia membunuh separuh dunia"
(ucapan Merlin dalam "Excalibur" karya John Boorman tahun 1981)

Tugasmu sudah selesai.
Apakah Munir pernah berbohong atau tidak, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Kematian bukanlah akhir segalanya, melainkan awal dari perjalanan abadi menuju Kebenaran Sejati. Saya percaya pada semangat heroik yang tak pernah berakhir, berakar dalam nurani dan berujung pada pengabdian.
Terima kasih, Tuhan, atas anugerah-Mu yang mewujud dalam sosok sang Kesatria.
P.S. : Dalam budaya Celtic, dikenal legenda pedang Excalibur milik Raja Arthur. Sang Raja kerap berunding dengan para kesatria di sebuah meja bundar, dikenal sebagai Round Table

Wednesday, September 01, 2004

KENAPA VAN GOGH BUNUH DIRI?

Kenapa Van Gogh bunuh diri? Saya nggak ngerti...

Dia itu kan sangat religius, dia pekerja keras. Dia tidak egois, bahkan selalu ingin berbagi dengan sesama.. Kenapa dia berhenti lalu bunuh diri...? Apakah karena dia tiba2 merasa bahwa semua realitas di dunia ini ternyata hanyalah kumpulan ilusi fana? Apakah karena dia tahu bahwa "realitas yang sesungguhnya" baru akan terjadi setelah kematian? Apakah dia melakukannya karena ketidaksabaran untuk bertemu realitas sejati itu? Bahwa apa pun yang dia lakukan ternyata tidak membuat perubahan berarti sepanjang hidupnya, lalu dia kecewa? Atau dia merasa dunia ini hanya perhentian sia-sia?

Tapi kenapa? Bukankah dia religius?

(Duh, kalau saja kamu ada di depan saya sekarang... Lagi2 saya kepingin menyentuh dan menghitung kerutan di dahi kamu...)