Thursday, May 13, 2004

ABOUT SAPARDI

Kalau di Indonesia ada penulis yang bisa membuat karya paling menyentuh dengan gaya sangat membumi, menurut gua Sapardi Djoko Damono-lah orangnya. Pemilihan bahasa yang sederhana tidak serta-merta membuat tulisannya membosankan dan klise. Penyair lain bahkan bisa cemburu melihat kepiawaian “si Eyang” ini mengolah perbendaharaan katanya (menurut teman yang lulusan Sastra UI, ini salah satu panggilan buat Sapardi dari para mahasiswanya). Menurut Gunawan Mohamad, mereka (penyair lain) akan heran melihat puisi Sapardi dan berkata, “Kenapa saya tidak menulis seperti itu tentang itu?”

Pertama kali gua baca karya Sapardi, justru bukan tulisannya sendiri, tapi terjemahan “Novel without a Name” karya Duong Thu Huong, perempuan eks-serdadu Vietcong. Entah akibat cerita Huong yang memang hidup karena berdasarkan pengalaman pribadinya selama perang, atau kepandaian Sapardi menerjemahkan karena begitu menghayati tulisan dan pikiran penulisnya, tapi membaca novel terjemahan itu membuat gua "seakan mimpi di pagi hari". Cara penerjemahan yang dilakukan si Eyang menjadikan novel itu seolah-olah hasil karyanya sendiri. Luar biasa. Saat membacanya, orang akan terbawa suasana di dalam novel, bahkan gua sampai bisa melupakan kemacetan di jalan tol (yang sekarang sudah bukan jalan bebas hambatan lagi, tapi jalan penuh hambatan) waktu berangkat ngantor. Tulisan Sapardi sendiri? Favorit gua “Membunuh Orang Gila” dan “Ditunggu Dogot”, semacam autokritik dengan gaya kocak, “sinisme” yang subtil, dan semangat pendalaman spiritualisme yang tidak terkesan menggurui.

Waktu gua bareng temen2 kantor ikutan seminar penerjemahan di Solo tahun lalu, iseng2 gua bawa “Novel Tanpa Nama” itu. Kejadian deh, saat menunggu dimulainya salah satu seminar yang dia bawakan, gua jadinya minta si Eyang tanda tangan di novel itu sekaligus foto bareng. Eh, ternyata ada peserta seminar lain yang jadi ikut2an minta foto bareng Sapardi. Hehehe, norak nggak tanggung2 dah. Gimana ya, udah bawaan dari lahir kali… Sampai dosen UNS yang jadi moderator berseloroh, “Wah, Pak Sapardi sekarang jadi selebriti, ya?” Rada2 katro sih memang, di antara puluhan pakar bahasa serius yang profesor doktor de-el-el itu, tiba2 ada semacam jumpa penggemar.. “Oh, pantes.. Orang tivi, sih..” Setelah gua ingat2, si Eyang sedikit banyak mengingatkan gua pada si mbah Kung. Si mbah juga waktu muda suka nulis, karena sempat jadi wartawan. Tapi itu sebelum terjun ke politik. Setelah sibuk urusan partai, kayaknya dia nggak nulis lagi. Sayang, gua bahkan nggak tahu seperti apa wujud tulisannya. Yang gua bisa nikmatin hanya sebagian kecil koleksi bukunya, termasuk terjemahan “Animal Farm”-nya George Orwell, yang dalam bahasa Indonesia jadi “Negara Binatang”…

Ngomong2, kali ini gua pingin share salah satu puisi Sapardi favorit gua..


BATU

/1/

Aku pun akhirnya berubah
menjadi batu. Kau pahatkan,
“Di sini istirah dengan tenteram
sebongkah batu,
yang pernah berlayar ke negeri-
negeri jauh, berlabuh di bandar-
bandar besar, dan dikenal
di delapan penjuru angin;
akhirnya ia pilih
kutukan, ia pilih
ketenteraman itu.
Di sini.”

Tetapi kenapa kaupahat juga
dan tidak kaubiarkan saja
aku sendiri, sepenuhnya?


/2/

Jangan kaudorong aku
ke atas bukit itu
kalau hanya untuk berguling kembali
ke lembah ini.
Aku tak mau terlibat
dalam helaan nafas, keringat,
harapan, dan sia-siamu.

Jangan kaudorong aku
ke bukit itu; aku tak tahan
digerakkan dari diamku ini.
Aku batu, dikutuk
untuk tenteram.

/3/

Di lembah ini aku tinggal
menghadap jurang, mencoba menafsirkan
rasa haus yang kekal;
ketenteraman ini,
sekarat ini.

(1991)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home