Sunday, October 31, 2004

BUAT ODI

Tulisan berikut merupakan terjemahan bebas dari cuplikan "Hamish Kemp and Max Williams: A Study in Contrasts", karya Lindsay Weekes

Autisme bukan merupakan gangguan perilaku maupun psikopati. Secara luar biasa, autisme adalah gangguan perkembangan pervasif. Tolong pahami kata "pervasif". Ini berarti bahwa autisme terbentuk di dalam dan dominan, memengaruhi semua hal yang dirasakan pribadi autistik dan setiap tindakan yang kita lakukan sebagai akibat persepsi tersebut. Artinya, selayaknya kita menyebut 'pribadi autistik' dan bukan 'pribadi dengan autisme', karena, suka atau tidak, autisme adalah salah satu karakteristik utama dari seseorang yang memiliki gangguan, bisa jadi merupakan karakteristik ketiga setelah kemanusiaan (humanity) dan gender. Autisme tak bisa diubah; dan konsekuensinya tak bisa disembuhkan. Adalah tidak mungkin untuk menyembuhkan suatu karakteristik mendasar; yang mungkin adalah melatih pribadi autistik sampai taraf tertentu, untuk menyesuaikan diri dengan standar perilaku yang diterima masyarakat. Dan meskipun terkadang kita menganggap hal ini tak berarti, namun banyak pribadi autistik yang bersyukur karena mendapat jalan bagi penerimaan diri mereka.

Mengajar anak-anak autistik bukan untuk pendoktrin atau pengecut: Anda harus yakin pada apa yang Anda lakukan, memiliki pemahaman intuitif atas pandangan anak autistik terhadap dunia, yang tanpa memilikinya Anda takkan berhasil mengajarnya. Bersikaplah tabah, konsisten, namun juga cukup fleksibel untuk mencoba strategi-strategi lain dan menyesuaikan pendekatan Anda dengan bermacam-macam anak-anak autistik yang Anda temui. Ada sejumlah orang yang tak mampu melakukannya

Perlu diketahui, autisme adalah gangguan kapasitas otak untuk memproses input sensor, dan gangguan fisik inilah yang menghasilkan perilaku nonstandar. Tidak ada dua pribadi autistik yang memiliki pola kemampuan yang benar-benar sama, karena indera tiap orang memiliki cara berbeda untuk menghasilkan input yang kacau. Bayangkan diri Anda buta dan memiliki pengetahuan yang sangat tidak lengkap mengenai apa yang terjadi di sekeliling Anda. Pasti itu tampak normal bagi anak autistik dan sangat mengerikan.

PS : Khusus diposting untuk keponakanku, kurcaci keduaku, Odi, di hari ulang tahunnya yang ke-7. Selamat ulang tahun, Odi. Dari senyum dan sinar matamu, aku tahu kau menyayangi kami.

Tuesday, October 26, 2004

TERANG

Dan setiap kali aku berpaling
Tatapanku selalu ternanar cahaya-Mu

Setiap kali aku berlari
Di antara selalu Kau-pintas ingkarku

Ketika aku berulang kali mencurangi
Kau-beri aku peluang waktu

Kumohon

Dampingi aku mengurai alur nan sesat
Membaca makna dalam tak kasat
Terang kembali pada-Mu

Thursday, October 21, 2004

OPTIMISTIS

Hari ini jadi pingin senyum2 terus... Lantaran ada upacara pelantikan kabinet baru? Nggak juga sih, dari kemarin juga udah gini, tapi hari ini kayaknya lebih seneng, gimanaaaa gitu (segitunyeee...)

Optimistis liat susunan kabinet baru? Apa karena punya presiden ganteng baru?
Biasa aja sih. Gua cuma ikut pemilu sekali, tahu? Bukan warga negara yang baik, ya? Tapi...'kan udah keliatan siapa yang bakal menang, apalagi di putaran terakhir...
Apa kerna mentri perempuannya lebih banyak?
Mungkin juga ye.. Sebenarnya laki-perempuan nggak masalah, yg penting nurani, gitu? Tapi boleh dong, gua berharap banyak sama kabinet sekarang. Boleh dong gua optimistis.. (angkat2 alis mode ON)

Duh, cerahnya matahari hari ini...

PS : Ya Allah, lindungilah dan selamatkanlah para pemimpin kami, Amin...

Saturday, October 16, 2004

DEBU

Di antara pertanyaan mereka tentang ketentuan
Dan jawaban mereka tentang keimanan
Aku hanya setitik debu

Di antara tak terhingganya pilihan
Dan satu pengambilan keputusan
Aku hanya setitik debu

Di antara tawa, pasrah, syukur, semangat, gempita, pujian
Di antara duka, sombong, dengki, takut, putus asa, keluhan
Aku hanya setitik debu

Hamba-Mu
Setitik debu di hadapan-Mu




Wednesday, October 06, 2004

HAPUS, TIPP-EX, CTRL+ALT+DEL

Beberapa bulan lalu, Nana pernah bilang, "Setiap orang dalam hidupnya pasti punya satu hal yang harus dia tipp-ex." Hm, singkat namun sangat bermakna. Begitu denger, gua tahu, kalimat ini pasti suatu saat bakal gua posting. Kalimat yang sebenarnya nggak baru, bukan hal baru, tapi adakalanya kalimat2 seperti ini akan muncul lagi di saat2 tertentu dan tetap terasa relevan.

Kemarin ada temen curhat. Dia baru marah sama seseorang karena merasa dibohongi selama ini. Semakin sering orang itu kirim SMS berisi maaf atau pembelaan diri, semakin temen ini bete. Dia ngerasa sudah memaafkan, tapi belum sanggup untuk bersikap kembali seperti semula seakan tidak ada apa2. Bahkan dia merasa lebih baik nggak terlalu banyak kontak dengan orang itu, atau nggak usah kontak sekalian.

Barusan ini gua dengar, ternyata peristiwa 17 tahun lalu masih bisa membekas bagi orang2 tertentu. Betapa menderitanya...17 tahun hidup dalam kebencian?

Lalu gua jadi terpikir, sepertinya masih ada juga penyesalan gua yang belum diterima. Atau sudah, tapi nggak berakhir seperti yang gua inginkan.

Si Uut pernah bilang, kalau konflik diakhiri dan proses saling memaafkan selesai, yang paling sehat adalah jika relasi berjalan seperti semula, seakan tidak pernah terjadi apa2.
Hapus, tipp-ex, ctrl+alt+del.

Seperti kutub utara dan kutub selatan pada Bumi, mungkin memang ada orang2 tertentu yang sebaiknya tidak bertemu dengan orang2 tertentu. Atau yang lebih baik, segera melupakan peristiwa tertentu. Boleh sakit hati sebentar, boleh marah sebentar, tapi dalam hati kita tahu, bahwa setelah semua diselesaikan, kehidupan akan berjalan kembali seperti sediakala.

Peristiwa dalam kehidupan bisa jadi ibarat tulisan di atas kertas. Agar bisa tetap jelas terbaca, kita bisa mengambil kertas baru yang masih bersih, atau tipp-ex saja tulisan sebelumnya. Karena menulis di atas kalimat lama hanya akan membuatnya semakin kabur dan sulit dibaca.

Ternyata belum waktunya...
Ah, salah lagi. Mungkin gua belum mengerjakannya sepenuh hati, walaupun sempat air mata menitik. Ah, mungkin memang belum waktunya...

Sunday, October 03, 2004

UNTUK PENGHUNI RSJ

Sejak baca cerpen Sapardi, “Membunuh Orang Gila”, gua jadi nggak terlalu takut sama orang gila yang kerap terlihat berkeliaran di jalanan. Apalagi setelah nonton “Girl, Interrupted”. Terus terang, dulu gua suka takut sama orang gila.... Boro-boro merasa simpati, malahan gua was-was setiap kali bertemu mereka. Takut diganggu, dikejar, dipeluk. Atau jijik, lantaran penampilan mereka biasanya kotor karena nggak pernah mandi. Sekarang, gara-gara baca cerpen itu, gua jadi berani menatap mereka. Mencari arti di balik tatapan mata mereka. Dan gua hanya menemukan kosong, atau kegelisahan dan ketakutan di sana. Siapa yang mereka takuti? Kita-kah? Rekan manusia mereka?

Tokoh dalam cerpen Sapardi menjadikan orang gila sebagai penumbuh harapan :
“Sekarang ini aku tak memiliki harapan lagi untuk ketemu si gila itu kalau berkendara mobil ke Bogor. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada tak punya harapan. Meluncur lurus saja di jalan aspal tanpa ada perasaan apa pun, tanpa ada orang gila - apa bahagianya?”

Sekali waktu, setelah turun dari bus di depan gedung BKPM, gua lihat orang gila duduk di trotoar. Pria, mungkin usianya sekitar 25-an, dan -selayaknya prototipe orang gila- lusuh dan awut-awutan. Matanya sibuk memerhatikan orang-orang yang lewat. Mungkin dia sedang bikin cerita sendiri di kepalanya. Waktu lewat di depannya, gua seperti mendengar dia berkomentar, tapi gua nggak bisa denger karena dia cuma bergumam. Mungkin minta uang, mungkin heran lihat gua jalan cepat-cepat. Yang jelas dia nggak tahu kalau gua berusaha lihat isi matanya dari kejauhan. Dan gua lihat dia seperti ketakutan. Di waktu lain, di daerah UKI, ada orang gila perempuan, sekitar 30-an. Dia bawa buntelan sambil marah-marah pada ibu pemilik warung makan. Waktu gua lihat matanya yang melirik ke kanan-kiri, gua tahu dia ketakutan. Seakan takut buntelannya direbut orang.

Berarti selama ini gua salah kalo takut sama mereka. Mungkin merekalah yang takut sama gua. Dan rasa segan gua selama ini pada mereka sama sekali tidak beralasan. Berdasarkan pengalaman pribadi, orang yang suka usil, mengganggu atau melakukan perbuatan tidak menyenangkan lainnya bahkan menjurus kriminal, “pasti” pelakunya bukan orang gila. Mereka semua orang waras, tidak perlu masuk RSJ. Coba, berapa persen pelaku pembunuhan yang dinyatakan gila ketika mencabut nyawa orang lain?

P.S. : Ada rasa keberatan memakai sebutan “orang gila” dan “orang waras”, karena dunia bukan hitam putih (meskipun gua sering kali masih terjebak menghadapi abu-abu)