Friday, May 28, 2004

NOVEL, ESAI, SEKSUALITAS

Akhirnya si Ut berhasil gua “racunin”. Dia jadi pingin baca “Novel Tanpa Nama” setelah baca blog gua, hehehe… Enjoy yourself deh Ut.. Menurut si Eyang waktu itu, dia sedang dalam proses penerjemahan novel karangan Duong Thu Huong lainnya, masih seputar kehidupan tentara Vietcong juga, dan ada beberapa bagian yang setting-nya di USSR zaman dulu. Kurang jelas apakah tokohnya masih sama atau diganti yang lain (karena gua lupa mau tanya sama si Eyang, saking ‘kesima-nya, entah sama si Eyang atau sama kenorakan gua sendiri, hehe). Setiap kali ke toko buku, gua mencari2 novel ini, tapi sepertinya belum dicetak, masih dalam proses. Nggak sabar ih, pingin buru2 baca…

Weleh.. Terus terang gua deg2an juga waktu diminta Tammy baca tulisannya. Bab satu, bakal novel. Maaf ya, Mie, kalo penilaian gua nggak sreg bagi loe,…gua ini amatiran. Tapi menurut Sonny, gua bisa jadi kolumnis,… Wadhuh! Malu ah, Son. Jadi gua harus cari dong…siapa yang mau kolomnya gua obrak-abrik? Hehehe…. Untuk kolom, gua suka gaya tulisan kolomnya Rudi Badil, Wimar Witoelar, Budiarto Shambazy belakangan juga… Sebenarnya gua suka tulisan yang model2 esai gitu, karena selain bisa menikmati gaya unik macam2 penulis dengan berbagai latar belakang, gua jadi tahu bagaimana cara pandang dan sikap banyak orang terhadap satu hal. Setidaknya mereka membantu kita untuk bersikap lebih objektif, kan?

Son, (en Lukito of course..) Lo pada tahu nggak sih, kayaknya kita kecolongan si Tomat, karena diem2 ternyata lo penulis ya, Mat…? Ayo, ngaku.. Dasar penjahat… Dulu kok anak2 pada nggak tahu?

Balik lagi ke novel si Mie.. Gua udah siap dengan “coffee accident” gua lho, Mie. Sekilas kemarin gua baca, gaya bahasanya boleh juga. Mengalir. Oh ya, gua tahu deh. Seingat gua, jaman SMA dulu lo pernah bilang kalo lo punya diary di disket. Waktu itu sih, rasanya aneh bagi gua, diary kok bikin di komputer. Kurang seru. Eh…ternyata sekarang gua malah curhat online. Gilingan. Mie, di balik ke-tomboy-an lo, ternyata lo feminin sekali.. Mungkin karena minat gua lebih pada esai, atau (konon) gua “kampungan”, yang jelas gua belum bisa menulis soal seksualitas seperti lo, mengangkatnya perlahan2, mengungkapkannya begitu menyentuh, melakukan eksplorasi yang begitu terbuka (istilah orang sekarang, “berani”), tapi sekaligus terasa “perempuan sekali” karena gaya bahasa lo yang feminin tadi. Ah, bukan sekadar gaya bahasa, jiwa lo memang feminine. Padahal lo tukang diving ke mana2, ya? Juara renang lagi (nggak nyambung nih, hehehe) Gua jadi inget, lo kan dulu PKL or something di Bali? Tulisan lo sedikit banyak terilhami kesan lo di sana dong..

Kadang ada kawan mengajak gua sharing masalah “hasrat”. Bukan malu (ya juga sih..), tapi gua menganggap seksualitas harus menjadi bagian “kemerdekaan” seseorang. Mau cerita kek, mau diem2 aja, itu hak orang sepenuhnya. Dianggap ‘berani’ atau terlalu berterus terang, menurut gua itu harus dipandang sebagai keinginan untuk ‘mandiri’. Lain halnya dengan sekadar pingin mengumbar pornografi atau bentuk eksploitasi lainnya demi uang. Atau sok2an dan tidak bertanggung jawab. Akhirnya, sesuatu yang wajar jadi menyebalkan. Menurut gua, transparansi itu sebaiknya bersuara seperti ini, “Ini lho pikiran saya selama ini. Saya nggak semena2 membicarakan seksualitas, tapi saya juga nggak mau dilarang bicara. Saya punya hak untuk menentukan.”

Akhirnya...ini sebagian tulisan Mie yang gua anggap “kuat” dan ingin gua post di sini.

“Bila seseorang masih bisa berkata Jikalau, itu adalah kata yang sangat dalam maknanya untuk memutar kembali waktu. Untuk membuat segala menjadi lebih baik. Untuk semua pihak. Tapi tidak mungkin. Maka Jika menjadi sesuatu yang mustahil bagi manusia. Karena Jika adalah privilegeNya. Keutamaan. Takdir. Sejarah. Nasib. Masa Depan.”

Satu lagi:

“Bandul sejarah mengukur waktunya. Mendiktekan irama yang digunakan tubuh untuk saling memberikan jawaban. Seakan kami telah tahu untuk setiap gerakan kenikmatan, harus dibayar dengan derita yang sama. Kami saling menahan diri. Akibatnya kami saling menyakiti. Semakin memperburuk suasana hati kami. Semakin menambah kepedihan hati yang kami rasakan. Karena ia tidak dapat memberikan jawaban atas kegelisahan akan ketidakpastian masa depan, kemunafikan hidup karena sisa umurmu akan dijalani dengan orang yang tidak kau kenal. Membuat nafsu birahi kami bangkit menggantikan puncak kegelisahan.”

Terusin lagi ya Mie, nulisnya, I’ll be behind you all the way..

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

hai mpokb, gue tinggal di sby, your big sister...gue seneng baca tulisan elu...berbakat banget...gue inget sejak masih smp& sma elu senang ngarang sampe muat di Hai + intisari...ternyata elu salah jurusan juga kayak gue ya ? hehe...selamat deh...jangan tanggung2 kalo nyemplung di dunia ini...kalo bisa juga bikin tulisan yang dimuat gitu lho...ok? love..yours.

4:04 PM  

Post a Comment

<< Home