Saturday, May 08, 2004

Uneg-uneg tentang Tulisan Terjemahan

Beberapa hari lalu gua menemukan satu puisi unik yang di-forward ke milis Musyawarah Burung.Bukan puisi itu yang menarik buat gua, tapi kenyataan unik betapa setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan dirinya. Kandungan puisi itu sendiri sebenarnya sudah diketahui banyak orang, tapi cara si penulis mengungkapkannya itulah yang unik, tentu akan berbeda dengan orang lain. Dan, bisa jadi, karya seseorang diinterpretasikan dalam banyak cara pula oleh orang yang berbeda2. Apa yang gua rasakan saat membaca “The Awakening” atau “Like This”-nya Rumi, tentu akan berbeda dengan yang dirasakan orang lain, bahkan dengan yang Rumi rasakan sewaktu menulisnya.

Gua sendiri sebenarnya bukan penikmat puisi. Meskipun pernah membuat satu-dua puisi, sebenarnya gua lebih tertantang untuk mencoba menerjemahkan puisi, mungkin sebagai cara untuk berbagi rasa dengan orang lain. Gua selalu menikmati jadi “messenger”, melihat reaksi, tanggapan orang2 pada apa yang gua sampaikan. Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono sempat membuat gua tersentuh atau gusar, tapi banyak juga yang malah menimbulkan tanda tanya bagi gua. Mungkin karena puisi tidak bisa dinikmati dengan kepala, tapi dengan hati. Suasana hati dan timing, buat gua, akan membentuk persepsi berbeda2 terhadap puisi.

Kalau cerpen Sapardi, nah itu, benar2 jempol. Gua bisa baca “Membunuh Orang Gila” sampai berkali2, atau “Rumah”. Ah, tetap aja gua pingin tersenyum meskipun membaca untuk kesekian kalinya. Dia memang genius. Gua baru kenal Sapardi sewaktu baca terjemahan “A Novel Without a Name”. Saat itu gua jengkel membaca novel2 terjemahan yang bahasanya membuat gua tersesat. Mulai dari “Metamorfosis”-nya Kafka, “Die Leiden des Jungen Werther”-nya Goethe, “Si Lugu”-nya Voltaire, novel2-nya Najib Mahfuz, atau “Salju Kilimanjaro”-nya Ernest Hemingway, gua baca dengan memendam kekecewaan. Kecewa, karena hasil terjemahan yang aneh dan ketidaksusesan mendapatkan sesuatu yang gua harapkan seperti waktu dulu gua membaca buku2 terjemahan karya Enid Blyton. Hasil terjemahan buku2 lama tahun ‘80-an jauh lebih bermutu daripada sekarang. Bahkan di era jauh sebelumnya, masih lebih bagus. Waktu gua dipinjemin “Animal Farm” dari British Council oleh Uut, nyokap gua teringat bahwa si mbah Kung pernah punya terjemahan karya George Orwell itu. Oh, seperti dapat harta karun. Penerjemahnya patut dipuji (sayang, buku itu masih dipinjem Cici, jadi penerjemahnya belum bisa dikasih kredit di sini). Gua baru baca edisi Inggrisnya, yang Indonesia-nya baru sekilas. Tapi gua lihat, dengan nama2 hewan penghuni peternakan yang diterjemahkan pun, si penerjemah bisa mengadaptasikan dengan tepat masing-masing karakter. Pembaca masih bisa memahami gagasan asli yang ingin disampaikan Orwell, sambil tetap merasakan sensasi yang mendekati (jika nggak bisa dibilang sama) edisi bahasa Inggrisnya. Maka gua berani bilang, tidak seharusnya seseorang mengaku dirinya seorang penerjemah jika dia hanya mengalihbahasakan kandungan “teknis” suatu tulisan, tapi tidak bisa memahami konteks budaya tulisan, bahkan jika perlu, latar belakang si penulis asli. Itu faktor penting yang akan membekali penerjemah dalam menentukan pemilihan kata2. Ini yang gua rasakan jarang ada di buku2 terjemahan baru, sepertinya pekerjaan penerjemahan hanya dinomorduakan, dan mengandalkan editor bahasa yang pengetahuannya juga terbatas.

Di “Novel Tanpa Nama” terjemahan Sapardi itu, terus terang gua sempat juga melihat ada kekeliruan, tapi sayangnya gua lupa di halaman berapa. Meskipun demikian, itu bukan hal yang mengganggu jika dibandingkan dengan keseluruhan novel yang seakan2 ditulis Sapardi sebagai “tangan pertama”. Dia laki2, tapi menerjemahkan tulisan perempuan seperti perempuan. Di bagian yang menceritakan bagaimana para prajurit
makan sup monyet, gua merasakan rasa mual yang sama seperti saat membaca satu bagian dari “Ziarah” karya Iwan Simatupang (gua tertarik membaca novel2 dia yang lain, tapi ada rasa enggan akan menemukan hal2 yang “terlampau luar biasa” dan membuat imajinasi gua kewalahan–ah, dasar gua yang bego). Tapi rasa mual masih jauh lebih baik dibandingkan kekecewaan setelah membaca terjemahan “Metamorfosis”, misalnya. Gua ada keinginan menerjemahkan “Metamorfosis” sendiri, tapi mungkin harus diawali dengan yang pendek2 dulu. Cerpennya Anton Chekov, barangkali? “The Malefactor” cukup menggigit, atau “The Death of an Official” yang benar2 mengingatkan gua akan kondisi di tengah masyarakat kita? Sepertinya itu bakal jadi tantangan bagus buat gua.