Saturday, May 08, 2004

Jakarta sudah mati kutu menghadapi kemacetan?


Menyebalkan rasanya, harus menghabiskan waktu 2,5 – 3 jam untuk menempuh jarak yang seharusnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 1 jam. Ini gua rasakan semakin parah dalam beberapa bulan terakhir, sejak ada pembangunan fly-over atau underpass di beberapa titik. Sekarang yang masih under construction underpass di perempatan UKI. Kalau pagi, macet di situ bisa 30-45 menit. Hanya untuk menempuh sepenggal ruas jalan!

Sebenarnya mudah terlihat, kemacetan di Jakarta disebabkan volume kendaraan yang sudah jauh melampaui kapasitas jalan raya. Bukan karena pengemudi tidak tertib, atau mobil lewat umur masih berkeliaran di jalanan, atau pedagang asongan melintas mondar mandir di “jalan bebas hambatan”. Itu semua cuma faktor yang memperparah. Bagaimanapun, jumlah kendaraan yang seliweran di Jakarta harus dikurangi. Bagaimana lagi petugas mau mengatur nyala-hidupnya traffic light? Mau berapa menit lampu merah dinyalakan? Kondisi di lapangan luar biasa lain dengan yang diajarkan di teori arus lalu lintas atau perencanaan transportasi perkotaan, dan banyak hal-hal tidak terduga. Parameter apa lagi yang harus ditambahkan dalam formula? (Kemacetan akibat genangan air, tawuran, unjuk rasa atau pekerjaan gali-tutup lubang sepertinya sudah bisa dijadikan parameter baru, bahkan harus).

Paling gampang memang ekstensifikasi, atau penambahan lajur jalan. Bisa memperlebar ruas jalan, menaikkan atau menurunkan titik persimpangan dengan fly-over atau underpass (yang secara otomatis menambah lajur juga). Tapi tanah Jakarta sudah makin sempit. Lebih diperlukan manajemen lalu lintas yang intensif. Pembatasan jumlah kendaraan selama peak hour, misalnya. Nggak manjur juga? Kembali lagi, jumlah kendaraan harus dikurangi. Caranya? Perbaikan angkutan umum. Gua lebih suka berasumsi, kalau kondisi angkutan umum -khususnya di Jakarta- cukup baik, pengguna jalan akan beralih moda. Ngapain capek2 ngikutin macet kalau bisa duduk dengan nyaman dalam bus, bisa tidur lagi? Tapi perbaikan angkutan umum tidak semudah teori, karena secara tidak langsung diperlukan juga perubahan gaya hidup dan cara pandang pengguna jalan. Perlakuan terhadap fasilitas umum saja, misalnya, masih sangat memprihatinkan. Masih banyak akibat kejahilan tangan dan rasa tidak memiliki yang membuat kondisi fasilitas umum seperti bus kota tampak menyedihkan.

Sekitar sepuluh tahun lalu, mass rapid transit (MRT) cukup ramai dibicarakan. Kampus gua juga ikut ngadai seminar tentang ini, manggil professor dari Inggris segala. Tapi entah kenapa, MRT nggak pernah terwujud. Yang ada justru sekarang busway, penyelesaian cukup aneh dari masalah yang serius. Seingat gua, selama kuliah nggak ada seorang pun dosen yang pernah menyebut2 soal busway. Tiba2, begitu gua nggak pernah bersentuhan lagi dengan dunia ilmu transportasi, muncul makhluk yang satu ini. Seperti gua bilang, busway memang aneh. Bayangkan, untuk tiba di terminal busway, orang harus naik feeder bus dulu. Busway sendiri cuma melayani rute Blok M-Kota. Memotong jumlah jalur yang biasa dipakai banyak kendaraan di Sudirman-Thamrin. Otomatis, jalanan untuk kendaraan selain busway jadi lebih macet. Orang nggak serta merta mau pindah dari mobil pribadi ke busway, karena beberapa hal. Bisa jadi pekerjaannya memang menuntut mobilitas tinggi, jadi harus sering pergi ke banyak tempat yang tidak dilewati busway. Atau demi kepraktisan, karena untuk naik bus itu, orang harus naik feeder bus lebih dulu. Kalau rumahnya nggak dilewati feeder bus, harus nambah lagi dengan angkot, ojek, dlsb. Naik turun kan makan waktu juga, apalagi kalau ada acara ngetem segala. Pokoknya nggak praktis.

Angkutan umum massal adalah tulang punggung kota besar. Ini yang sepertinya nggak dipahami benar oleh pemda Jakarta. Atau paham, tapi pura2 nggak paham dan menutup mata saja, karena banyak proyek lain yang lebih menggiurkan dan nggak seberapa memusingkan untuk digarap. Kalau menengok ke kota2 besar di negara lain, angkutan kotanya bikin sirik. Di Paris ada metro, di New York, Chicago, ada KA plus subway, Jepang juga. Di Kuala Lumpur atau Singapura juga ada kereta. Di Hannover dan Frankfurt ada S-Bahn, U-Bahn, plus Stadtbus, semua rute terintegrasi. Jadi kalau gua turun dari pesawat mau langsung ke Bovenden, wilayah Goettingen yang kira2 setingkat kecamatan Ciawi-nya Bogor, gua tinggal cari KA ekspres ICE ke Hannover, terus dari stasiun (Bahnhof) Goettingen cari Stadtbus ke Bovenden. Menunggu berapa lama pun bisa dilakukan di stasiun yang cukup cozy. Atau kalau ICE kemahalan, bisa milih salah satu dari dua rute. Kalau nggak salah lewat Bebra dan Fulda atau lewat Kassel. Kalau lewat Bebra-Fulda, gua harus pindah kereta dua kali. Kalau Kassel, cuma sekali. Setiba di Goettingen, tinggal cari bus ke Bovenden. Memang sih, bus ke Bovenden waktu gua di sana cuma ada sejam sekali. Kalau ketinggalan, lama nunggu bus berikutnya. Tapi semua rute sudah diperhitungkan dengan tepat, alias integrated. Dan kendaraannya selalu ada. Dari Frankfurt ke kampus TU di pinggiran Darmstadt? Naik bus ke Bahnhof, cari KA yang lewat Darmstadt, di Darmstadt naik lagi Strassenbahn (trem) ke arah kampus TU. Waktu menunggu nggak akan terlalu lama, apalagi kota cukup padat seperti Darmstadt. S-bahn bisa aja penuh seperti KA Jabotabek, tapi waktu dan rutenya pasti. Nggak ada penumpang telat atau diturunin di tengah jalan.

Memang enak kalau hidup sudah ada standarnya, temasuk standar atau “kepastian” di jalan raya itu. Pikiran pemakai jalan bisa lebih konsen ke pekerjaan atau kesibukan lain, nggak perlu musingin gimana2 di jalan. Orang Jakarta dibikin pusing karena serba nggak pasti. Makanya, untuk mencari kepastian itu, orang lebih suka pakai mobil pribadi, meskipun capeknya nyetir setengah mati. Belum lagi kalau setelah hujan, terus banjir. Mengerikan. Tapi, yang pasti, senyum pengusaha otomotif bakal semakin lebar, termasuk juga pengusaha pom bensin, sampai pak ogah, tukang parkir dan joki three in one. Celah2 itu sangat banyak dan bisa dimanfaatkan kapan saja. Gua nggak nyalahin mereka, karena mereka cuma melihat peluang di depan mata. Namanya juga bagi2 rejeki. Gua cuma heran, kapan Jakarta bisa punya mass rapid transit yang dulu ramai dibicarakan itu? Kenapa sekarang yang nongol si busway yang kapasitasnya pas2an itu? Jangan2 kita udah telat 30 tahun, lantaran Jakarta udah terlalu “matang” untuk ditambah rute subway atau trem. Harusnya kan dibikin jaman rikiplik dulu, bersamaan dengan seru2nya proyek mercu suar gelora atau monas? Konon zaman dulu di Jakarta ada trem, tapi entah kenapa ditiadakan. Oke lah, mungkin trem memang nggak cocok untuk Jakarta masa kini yang “rawan gesekan”, tapi bayangkan betapa indahnya jika Jakarta punya subway, yang rutenya terintegrasi dengan bus kota. Seperti metro di Paris, U-Bahn di Frankfurt atau subway di New York? Aduh, kapan yaa?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home