HAVE I GONE KAFKA?
“The Metamorphosis” oleh Franz Kafka :
“Ketika pada suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruk, dilihatnya dirinya telah berubah menjadi seekor kecoak di atas ranjang”.
Kecoak di mana pun selalu dianggap hina, menjijikkan, "layak" diinjak. Benar. Kadang gua bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah gua sekarang sudah berubah jadi kecoak? Atau mirip kecoak?” Pertanyaan ini muncul setiap kali gua merasa tidak berhak punya kendali atas diri sendiri, ketika gua merasa hidup dalam suatu mekanisme yang dibatasi pola-pola tertentu. Hidup seperti robot, terjebak dalam rutinitas, miskin kreativitas, kurang inovatif, berpikir sempit dan pendek… Duh, kapan gua nggak merasa seperti itu? Bahkan sepertinya hal ini semakin sering gua rasakan. God, have I gone Kafka?
Sohib gua (wanita lajang, engineer di perusahaan konsultan asing) pernah mengeluh. “Sepertinya gua sudah tua. Sekarang gua selalu ngerasa lekas capek. Padahal gua rajin olahraga dan makan teratur. Tapi tetap aja, sedikit2 sakit ini, sakit itu..” Menurut gua, cara pikir dia kayaknya udah kebalik.. Dia yang cuma sempat istirahat (= tidur) kira-kira 5 jam per hari, dan harus bekerja dengan konsentrasi tinggi (karena harus menganalisis struktur bangunan dan biaya), harus menikmati macetnya jalanan di Jakarta setiap pergi-pulang kerja, dan hampir setiap hari Sabtu ngelembur demi mengejar deadline proyek.. Siapa yang nggak bakalan gempor, kalo nglakonin kayak gini tiap hari? Lalu dia pun menyalahkan tubuhnya, ciptaan Tuhan yang sempurna, yang punya mekanisme ajaib untuk mempertahankan diri, dan punya kemampuan memberi sinyal2 jika ada “malafungsi”. Barang apa pun pasti rusak jika digunakan melampaui kapasitasnya, padahal tubuh manusia itu udah paling canggih.
Lalu tibalah saat-saat kejar tayang, deadline itu. Ketika semua orang, termasuk gua, harus mempercepat ritme kerja dan semaksimal mungkin menjaga kualitas output. Hari ini selesai, besok datang lagi, besok selesai, lusa datang lagi.. Terus begitu berturut-turut. Belum lagi gangguan2 kecil yang datang.. Dan gua, saking kepingin memenuhi deadline, secara otomatis “mengeliminasi” gangguan itu. Tapi apa yang gua dapat? Ternyata nggak semua orang bisa menerima sikap ini, dan gua pun “berubah” jadi tidak manusiawi. Have I gone Kafka? Tepatnya, have I gone Gregor Samsa?
Benarkah dugaan gua, bahwa rutinitas berkepanjangan akan menuju pada dehumanisasi, diawali menurunnya kemampuan sosialisasi seseorang ketika mengalami kesulitan untuk sekadar bertegur sapa secara normal? Benarkah kita semua –pada dasarnya- saat ini tidak lebih daripada robot-robot yang digerakkan mengikuti pola2 tertentu, dan miskin prakarsa? Atau, jangankan untuk mengobrol santai dengan orang lain, ngebales SMS yang sekian baris aja rasanya jadi terlalu menyita waktu? (Maaf ya pren, semuanya.......kalau2 ada yang pernah ‘ngrasa dicuekin)
Maka, bersyukurlah mereka yang sibuk namun masih bisa membagi waktu untuk keluarga, teman, dan orang lain yang membutuhkan mereka. Dan bersyukurlah Anda yang masih bisa tersenyum ketika terpaksa menjadi robot. Atau Anda sudah jadi kecoak?