Monday, June 14, 2004

LAGI-LAGI MASALAH TERJEMAHAN

Hiiii, gua suka gemes kalo ngeliat hasil terjemahan aneh2. Kayak film “The Big One” yang baru gua tonton kemarin itu. Asli, kalo pingin ngerti jalannya cerita, jangan baca subtitel terjemahannya deh. Gua nggak rekomendasi sama sekali. Ancur minah… Kok tega2nya sih...mempertaruhkan reputasi profesi? Apa karena nggak ada credit title? Kalau seperti itu hasilnya, mendingan nggak usah diterjemahin deh. Kan jadinya bikin gua “amazed” dan bertanya2, sebenarnya seberapa jauh sih penghargaan orang atas profesi penerjemah?

Jarang sekali orang menyadari, dalam penerjemahan apabila kita nggak ngerti satu kalimat aja, dalam kondisi tertentu akibatnya bisa fatal. Ini sering kali terjadi dalam penerjemahan idiom, dan idiom biasanya tidak tercantum dalam kamus “ecek2”. Atau buku teks untuk sekolah atau kuliah. Melenceng sedikit bisa bahaya.

Coba kita lihat buku terjemahan karya pengarang besar yang banyak beredar sekarang. Bener juga kata si Fajar (nih dia, oknum yang memperkenalkan gua sama Michael Moore). Sebagian buku lebih baik dibaca dalam versi bahasa asli. Gua setuju, antara lain supaya misi si penulis nyampe secara utuh, nggak teredusir atau tergeser.. Waktu gua ceritakan bahwa ada alumni seangkatan SMA gua sedang menerjemahkan “The Divine Comedy”-nya Dante Alighieri (ternyata tulisan abad 14) dan sudah 4 tahun dia ngerjain itu, Fajar kayaknya kurang sreg. Menurut dia, peminat tulisan seperti itu semestinya bukan orang yang nggak bisa bahasa Inggris. Artinya, pembaca karya2 begitu kan sangat tersegmen. Dan mereka mungkin lebih memilih membaca tulisan itu dalam bahasa Inggris, bahkan kalau perlu bahasa Italianya sekalian. Oke, dilihat dari sisi itu gua setuju. Tapi, ada sesuatu yang membuat gua nggak setuju “kenapa tulisan sebaiknya tidak diterjemahkan”. Alasannya, karena gua tahu persis, bahkan dari kalangan akademisi pun masih banyak yang kesulitan menerjemahkan jurnal sendiri dan butuh tenaga penerjemah. Lalu, kenapa bukan kemampuan berbahasa asing yang ditingkatkan? Untuk hal ini, gua bener2 nggak tahu jawabannya. Something is missing. Kenyataannya, sejak SMP, bahkan sekarang SD atau TK sekalipun, murid diajari bahasa Inggris. Orang2 segenerasi gua, kalo dihitung rata2 belajar bahasa Inggris di sekolah selama 7 tahun (6 tahun di sekolah menengah dan setahun di kampus). Tapi itu pun tidak menjamin kemampuan para lulusan.

Singkatnya, kalau kualitas pengajaran dan khazanah ilmu memang ingin diperkaya lewat karya2 asing, tidak bisa tidak, harus melalui proses penerjemahan. Dan si penerjemah memikul tanggung jawab besar dalam proses transfer itu. Bukan hanya pengetahuan bahasa, tapi juga penguasaan materi teks yang bakal diterjemahkan, mulai dari segi isi, tata bahasa, latar belakang (dalam teks ilmu pengetahuan, termasuk dasar teori), sampai dengan tujuan penerjemahan tersebut. Terjemahan jurnal sains misalnya, akan menggunakan gaya bahasa yang jauh berbeda dengan terjemahan katalog promosi perusahaan kosmetik. Terlebih lagi skenario film. Beberapa penerjemah yang gua kenal sampai “nggak berani” menerima job penerjemahan skenario sinetron dari bahasa Indonesia ke Inggris, karena sadar bahwa di situ tidak hanya dibutuhkan kemampuan teknis maupun imajinasi, tapi juga keakraban dengan slank.

Maka, jangankan pendidikan formal, penyebaran informasi lewat media seperti film model “The Big One” itu juga bakal gagal kalo cara kerja penerjemah masih “nanggung”.Lain halnya kalo patokannya “kejar tayang”. Kalo gini mah, sekali lagi, daripada merusak karya orang lain dan mengecewakan penonton, lebih baik nggak usah diterjemahin deh.... Bikin BT!

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Setujuuuuuuuuu......!!!!!!!!!!!

5:23 PM  
Anonymous Anonymous said...

saya ingin membantu coba klik ke www.penerjemah.english.at
atau kirim via email ke penerjemah at england dot edu

2:52 PM  

Post a Comment

<< Home